JAKARTA – Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tengah gonjang-ganjing diguncang skandal terkait apa yang disebut sebagai berkas Epstein atau Epstein’s Files. Skandal ini mengemuka menyusul penolakan pemerintahan Trump untuk mengungkap berkas Epstein, meski hal tersebut merupakan salah satu janji besar kampanyenya pada 2024.
Jeffrey Epstein adalah seorang tokoh keuangan dan pemodal besar di Amerika Serikat yang pada 2019 didakwa atas tuduhan perdagangan seks anak di bawah umur. Klien bisnis gelap Epstein diduga berasal dari kalangan orang-orang berpengaruh dunia, termasuk sejumlah politisi di Washington.
Sejak bisnis gelap Epstein terungkap, muncul rumor terkait daftar kliennya, yang berisi nama orang-orang yang menjadi pelanggan perdagangan seksnya. Namun, pada 2019, beberapa bulan setelah didakwa, Epstein ditemukan tewas di penjara karena bunuh diri.
Kematian Epstein yang misterius memicu spekulasi bahwa ia sebenarnya dibunuh untuk mencegah nama-nama dalam daftar tersebut diungkap ke publik. Epstein memang memiliki hubungan dengan orang-orang berpengaruh di dunia, termasuk Pangeran Inggris Andrew, bahkan Donald Trump.
Menyusul kematian Epstein, dorongan publik agar daftar klien tersebut diungkap semakin keras terdengar. Ini terutama karena korban dari kejahatan Epstein adalah gadis-gadis di bawah umur, dengan beberapa di antaranya diketahui mengalami kekerasan seksual.
Dorongan publik ini membuat Trump menjadikan pengungkapan Berkas Epstein sebagai salah satu janji kampanye presidennya. Dukungan ini semakin kuat pada 2024 setelah Trump terpilih untuk masa jabatan kedua, terutama karena tokoh seperti Elon Musk dan oposisi pemerintahan AS menyebut ada upaya menutupi nama-nama di dalam berkas Epstein.
Pada Februari 2025, Jaksa Agung Pam Bondi mengatakan dalam siaran televisi bahwa ia memiliki berkas Epstein di mejanya, yang semakin meningkatkan harapan publik akan pengungkapan berkas dan daftar klien tersebut. Namun, beberapa bulan kemudian, harapan tersebut pupus akibat publikasi hasil penyelidikan terhadap Jeffrey Epstein oleh Departemen Kehakiman AS (DOJ) dan FBI.
Memo dua halaman yang dirilis DOJ dan FBI pada Juli 2025 menegaskan hasil pemeriksaan ulang terhadap dokumen Epstein yang isinya antara lain:
Memo ini memicu kemarahan publik, pengkritik Trump, bahkan pendukungnya, yang menganggap bahwa pemerintahan Trump menutup-nutupi bukti dan melindungi klien Epstein, serta mengingkari janji kampanyenya.
Gelombang protes melanda media sosial sebagai tanggapan atas memo tersebut, sementara desakan dari anggota Kongres AS, terutama dari pihak Demokrat, menuntut agar daftar klien itu diungkap ke publik. Elite politik AS saling menuding masing-masing pihak tercantum di dalam daftar klien Epstein.
Tim internal pemerintahan Trump pun terpecah, khususnya antara DOJ, FBI, dan Jaksa Agung.
Direktur FBI Kash Patel dan Deputi FBI Dan Bongino, yang sebelumnya mendukung teori adanya daftar klien tersebut, telah mempertimbangkan untuk mengundurkan diri menyusul memo yang menyatakan bahwa berkas tersebut tidak ada. Sementara Jaksa Agung Pam Bondi juga menerima kecaman keras dari publik yang menuntutnya mengundurkan diri atau dipecat.
Kepercayaan publik pada Trump pun semakin menurun, bahkan ada yang menduga bahwa Trump ternyata ada dalam daftar klien tersebut sehingga pemerintah menutup-nutupinya.
Dalam berbagai kesempatan, Trump meminta jurnalis dan publik berhenti mempermasalahkan Epstein dan menegaskan seluruh tuduhan klien papan atas hanyalah “dokumen palsu” buatan lawan politik. Namun, seruan tersebut justru meningkatkan kritik dan kecaman terhadap dirinya.
Skandal Berkas Epstein yang terus bergulir tak hanya menimbulkan gejolak politik di Amerika Serikat, tetapi juga menggoyahkan kepercayaan publik terhadap transparansi dan integritas pemerintah. Polemik seputar pengungkapan dokumen, spekulasi daftar klien, serta pertentangan di lingkaran pemerintahan menunjukkan betapa dalamnya persoalan ini memengaruhi stabilitas politik nasional. Selama kebenaran terkait kasus Epstein belum diungkap secara tuntas, pro dan kontra di tengah masyarakat serta tekanan terhadap pemimpin negara diperkirakan akan terus berlanjut, menandai babak baru dalam perjalanan politik Amerika Serikat.
(Rahman Asmardika)