Maruarar mengatakan, hakim tentunya bisa melihat dari sudut objektif jika independen, tidak ada tekanan, dan tidak ada pengarahan. Ia pun menyoroti pentingnya memahami tanggung jawab eksekutif dalam konteks kebijakan publik.
Hakim harus mempertimbangkan jika ada kebijakan atau diskresi kebijakan yang dianggap bertentangan dengan undang undang, maka tanggung jawabnya adalah presiden.
"Jadi, tanggung jawabnya jangan digeser dari presiden sebagai pimpinan eksekutif, yang memberi mandat kepada menteri untuk menjalankan tugas yang dikelolanya,” ujarnya.
Maruarar mencontohkan jika impor gula dianggap sebagai kebijakan negara, maka presiden memiliki kapasitas untuk mengoreksinya. Kalau tidak dikoreksi maka berarti kebijakan itu diterima, karena itu tanggung jawabnya adalah eksekutif secara keseluruhan.
Dalam setiap kebijakan, menurutnya, akan selalu ada potensi untuk menimbulkan dampak positif atau negatif bagi pihak tertentu. “Presiden tidak boleh mengatakan itu adalah kebijakan menteri karena menteri adalah pembantunya. Tidak mungkin menteri melakukan sebuah tindakan tanpa restu presiden,” imbuhnya.