Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Pergeseran Kekuasaan di Madiun: Dinamika Politik Pasca Perjanjian Giyanti

Avirista Midaada , Jurnalis-Senin, 18 Agustus 2025 |08:54 WIB
Pergeseran Kekuasaan di Madiun: Dinamika Politik Pasca Perjanjian Giyanti
Kekuasaan di Madiun (Foto: freepik)
A
A
A

PERJANJIAN Giyanti membawa perubahan besar bagi kehidupan di Pulau Jawa, terutama di bagian tengah selatan. Perjanjian antara VOC Belanda dengan Kerajaan Mataram, yang diteken setelah kalah perang, membuat kekuasaan Mataram menjadi terbatas.

Beberapa wilayah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Mataram harus dilepaskan. Di Madiun, perjanjian VOC Belanda dengan Mataram menyebabkan pusat pemerintahan bergeser. Pergeseran ini terjadi dari Istana Wonosari ke Istana Kranggan, bermula dari penunjukan Raden Ronggo Prawirodirjo I sebagai Bupati Madiun oleh Sultan Hamengkubuwono I pada akhir 1750-an.

Hal tersebut tidak lepas dari konteks politik Jawa setelah Perang Giyanti dan penetapan perjanjian tersebut, serta masa bertahtanya Sultan Hamengkubuwono I pada 1749–1792. Pada periode awal itu, muncul masalah yang melibatkan Bupati Mangkudipuro dan Bupati Sawoo, yang kini masuk wilayah Ponorogo.

Dikutip dari “Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta: Riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo III dari Madiun, sekitar 1779–1810”, masalah itu bermula dari upaya pemboikotan yang dilakukan kedua bupati terhadap kewajiban-kewajiban yang dikenakan oleh VOC.

Tindakan kedua bupati tersebut membuat mereka harus berhadapan langsung dengan Sultan Hamengkubuwono I, karena setelah Perjanjian Giyanti, Madiun menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Yogyakarta. Memang, wilayah kukuban ing sak wetane Gunung Lawu—atau wilayah tertutup di sebelah timur Gunung Lawu—dari masa ke masa selalu menjadi momok bagi para penguasa keraton Jawa tengah-selatan.

 

Medan tempuh yang cukup sulit antara daerah timur dan ibu kota keraton memberi semacam rasa kebebasan kepada para bupati kawasan timur, khususnya pejabat tinggi yang membawahi wilayah Madiun. Hal ini membuat keluarga bupati berpengaruh di daerah yang jarang penduduknya ini mengembangkan rasa kedaerahan yang kuat.

Rumitnya masalah muncul ketika Sultan Hamengkubuwono I memerintahkan Bupati Mangkudipuro untuk menindak pembangkangan Bupati Sawoo. Tugas tersebut menyisakan masalah bagi Bupati Mangkudipuro karena dia memiliki hubungan dekat dengan Bupati Sawoo, terutama di Distrik Arjowinangun, Ponorogo.

Bupati Mangkudipuro menjalankan perintah Sultan Hamengkubuwono I dengan setengah hati. Dia merancang penyergapan pura-pura terhadap Bupati Sawoo bersama pasukannya. Namun, nasib buruk menimpa Mangkudipuro.

Dalam penyergapan tersebut, dia terluka di punggung sehingga memilih mundur bersama pasukannya kembali ke Madiun. Peristiwa itu memunculkan kemarahan Sultan Hamengkubuwono I, sehingga Mangkudipuro langsung dipecat dan dipindahtugaskan sebagai bupati di Caruban. Keputusan ini dianggap sebagai pilihan terbaik bagi Mangkudipuro karena dia masih termasuk keluarga dekat Keraton Surakarta.

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement