“Kalau segmen kelas menengah prodemokrasi itu kecil, sulit untuk membuat wacana publik yang diterima semua orang. Apalagi kalau kemunduran demokrasi itu dilakukan secara subtil, diam-diam dalam aturan. Tak ada yang tahu, kan?” katanya.
Baginda juga menilai jika isu yang dibahas menyangkut hajat hidup orang banyak seperti pajak, maka kelompok kelas menengah meski terfragmentasi akan lebih bersuara. Namun, demokrasi bukan hanya soal ekonomi, tapi juga tentang proses dan institusi.
“Tapi kan demokrasi itu bukan cuma soal kesejahteraan. Dia ada soal institusinya, prosesnya, yang itu benar-benar bisa diubah. Tapi sifatnya subtil seperti yang tadi saya bilang, seperti high politics, bukan dikonsumsi orang-orang secara umum. Contoh soal revisi UU TNI, kan tidak semua orang bicara UU TNI, karena kepentingan mereka beda-beda,” katanya.
“Jadi menurut saya, itu yang kemudian menjadi kesulitan bagaimana kelas menengah kritis ini bisa mendorong atau mencegah terjadinya kemunduran demokrasi,” imbuhnya.
Karena itu, Baginda bersama Jessica Areta, selaku Analis Ekonomi Politik LAB 45, memaparkan sejumlah rekomendasi agar kelas menengah ke depan dapat lebih berpengaruh dalam mendukung kemajuan demokrasi dan bukan sebaliknya.