JAKARTA – Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kementerian HAM, Munafrizal Manan, meminta publik tidak terburu-buru menyimpulkan dugaan penghilangan paksa dalam kasus orang hilang yang belakangan mencuat.
“Kita nggak bisa terburu-buru menyatakan atau menyimpulkan itu sebagai penghilangan paksa. Misalnya dua orang yang sudah ditemukan, kan kita sudah dengar bersama-sama, jauh sekali dari sebutan seperti itu,” kata Munafrizal, Jumat (19/9/2025).
Ia menjelaskan, pihaknya masih menunggu perkembangan pencarian terhadap dua orang lainnya. Menurutnya, kepastian kondisi baru bisa disampaikan setelah keduanya ditemukan.
“Jadi memang kita harus menunggu dua orang lainnya. Mudah-mudahan bisa segera ditemukan, baru kita ketahui kondisinya sebenarnya. Jadi kalau sesuatu masih belum pasti, lalu langsung disimpulkan, itu kan jadi prematur,” ujarnya.
Munafrizal mengakui memang benar ada orang yang belum kembali ke rumahnya. Namun, penyebab di balik peristiwa itu baru bisa dipastikan setelah yang bersangkutan ditemukan.
“Kalau kita sebut bahwa ada orang yang belum kembali ke rumahnya, itu jelas. Tapi bagaimana cara dia belum kembali, nah itu yang harus diperjelas setelah orangnya ketemu,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan kriteria penghilangan paksa berdasarkan instrumen hak asasi manusia.
“Itu sudah ada standarnya dalam instrumen hak asasi manusia. Penghilangan paksa berarti ada orang atau pihak tertentu yang memaksa untuk menghilangkan. Makanya disebut sebagai penghilangan paksa,” imbuhnya.
Sebagai contoh, ia menyinggung dua orang yang sudah ditemukan—Bima Permana Putra (BPP) dan Eko Purnomo (EP), pasca rangkaian aksi akhir Agustus, ternyata pergi atas kemauan sendiri.
“Kalau dua orang tadi, kan kita dengar sendiri, ternyata memang kemauan mereka sendiri,” jelasnya.
(Fetra Hariandja)