WASHINGTON – Kasus penahanan remaja Palestina-Amerika, Mohammed Ibrahim (16), telah menjadi simbol perlakuan buruk terhadap anak di bawah umur di penjara Israel. Defense for Children International – Palestine (DCIP) memperoleh kesaksian yang mengungkap kondisi Ibrahim sejak ditahan pada Februari 2025.
Dalam wawancara dengan pengacara DCIP yang dipublikasikan, Ibrahim menggambarkan kondisi yang sangat keras sejak penahanannya dimulai lebih dari delapan bulan lalu. Kala itu, ia masih berusia 15 tahun. Kondisi tersebut meliputi kasur tipis, sel dingin, dan jatah makanan sangat minim.
"Jatah makanan yang kami terima sangat tidak memadai," katanya seperti dilansir Al Jazeera, Rabu (22/10/2025).
"Untuk sarapan, kami hanya disajikan tiga potong roti kecil, bersama dengan sesendok kecil keju krim. Saat makan siang, porsi kami minimal, hanya terdiri dari setengah cangkir kecil nasi yang kurang matang dan kering, satu sosis, dan tiga potong roti kecil. Makan malam tidak disediakan, dan kami sama sekali tidak menerima buah," paparnya.
Menurut DCIP, Ibrahim telah kehilangan berat badan yang signifikan sejak penahanannya dimulai. Kegagalan Paspor Amerika dan Sistem Peradilan Militer Keluarga Ibrahim, kelompok hak asasi, dan anggota parlemen AS telah memohon kepada pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menekan Israel agar segera membebaskan remaja tersebut. Dasarnya, AS telah memberikan bantuan lebih dari USD 21 miliar kepada Israel selama dua tahun terakhir.
"Bahkan paspor Amerika tidak bisa melindungi anak-anak Palestina," kata Ayed Abu Eqtaish, direktur program akuntabilitas di DCIP.
"Meskipun keluarganya melakukan advokasi di Kongres dan melibatkan Kedutaan Besar AS, Ibrahim tetap berada di penjara Israel. Israel adalah satu-satunya negara di dunia yang secara sistematis menuntut anak-anak di pengadilan militer," tegasnya.
Ibrahim ditahan setelah tentara Israel menggerebek rumah keluarganya di Tepi Barat yang diduduki pada Februari. Ia mengingat tentara memukulinya dengan popor senapan saat ia diangkut.
Remaja itu sempat ditempatkan di penjara Megiddo yang terkenal kejam, yang digambarkan tahanan Palestina sebagai "rumah jagal".
"Setiap tahanan menerima dua selimut, namun kami masih kedinginan di malam hari. Tidak ada sistem pemanas atau pendingin di kamar. Barang-barang yang ada hanyalah kasur, selimut, dan satu Al-Quran di setiap kamar," ungkapnya.
Ibrahim didakwa dengan tuduhan melempar batu ke pemukim Israel, sebuah tuduhan yang ia tolak. Para ahli hukum menegaskan warga Palestina di pengadilan militer Israel hampir tidak pernah menerima peradilan yang adil.
(Fetra Hariandja)