Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Pakar Hukum hingga Tokoh Agama Kompak Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto

Annastasya Rizqa , Jurnalis-Selasa, 04 November 2025 |18:09 WIB
Pakar Hukum hingga Tokoh Agama Kompak Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto
Sejumlah tokoh tolak gelar pahlawan untuk Soeharto (foto: Okezone/Anantasya)
A
A
A

JAKARTA - Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk mendiang Presiden ke-2 RI, Soeharto, menuai kecaman dan penolakan dari berbagai kalangan. 

Di tengah polemik ini, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyampaikan surat terbuka kepada Presiden RI Prabowo Subianto terkait rencana pemberian gelar tersebut.

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menjabarkan alasan penolakan terhadap rencana pemberian gelar itu. Ia menjelaskan bahwa meski Soeharto dihormati sebagai tokoh penting dalam sejarah bangsa, namun tidak memenuhi nilai-nilai untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional.

“Seberapapun kita menghormati para pendiri bangsa, konteksnya berbeda. Bayangkan kalau kita kembali ke UUD 1945 naskah awal, maka tidak akan ada Mahkamah Konstitusi, tidak ada pasal-pasal HAM dalam Pasal 28 UUD secara lengkap. Semua itu hilang,” ujar Bivitri, Selasa (4/11/2025).

Bivitri juga menyinggung rekam jejak kelam Soeharto selama menjabat, mulai dari dugaan pelanggaran HAM berat hingga lamanya masa kekuasaan yang diembannya selama tujuh periode.

 

Menurutnya, hal-hal tersebut menjadi dasar kuat penolakan terhadap pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.

“Kita tidak akan punya pembatasan masa jabatan presiden dua kali kalau tidak ada perubahan UUD. Soeharto menjabat tujuh kali di bawah UUD yang lama,” jelasnya.

“Bayangkan, jika legitimasi perubahan UUD 1945 itu hilang karena Soeharto justru dianggap pahlawan, maka ini akan menjadi jalan mulus tanpa kerikil untuk kembali ke UUD 1945 naskah awal,” tambah Bivitri.

Sementara itu, Romo Frans Magnis-Suseno, seorang tokoh agama dan filsuf, juga menyatakan penolakannya terhadap rencana pemberian gelar tersebut. Ia menilai, pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa kepemimpinan Soeharto meninggalkan luka sejarah yang mendalam bagi bangsa Indonesia.

“Tidak bisa disangkal bahwa Soeharto paling bertanggung jawab atas salah satu dari lima genosida terbesar umat manusia pada paruh kedua abad ke-20, yakni pembunuhan massal pasca peristiwa 1965–1966. Antara 800 ribu hingga, menurut Sarwo Edhie yang sangat aktif saat itu, mencapai tiga juta orang terbunuh. Mengerikan sekali,” ungkap Romo Frans.

Dalam surat terbuka YLBHI kepada Presiden Prabowo, ditegaskan bahwa rekam jejak masa Orde Baru dan pelanggaran HAM berat menjadi alasan utama mengapa Soeharto dinilai tidak memenuhi standar moral maupun nilai-nilai kepahlawanan nasional.

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement