JAKARTA - Apa yang kurang dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia?. Nyatanya renumerasi yang cukup besar tidak mampu membendung keinginan pegawai dan pejabat pemerintahan untuk mencuri uang negara dengan cara korupsi. Tidak ada yang salah dengan renumerasi, yang salah adalah keserakahan yang tertanam dalam diri koruptor.
Demikian disampaikan Sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tamagola saat berbincang dengan okezone via telpon, Minggu (11/4/2010). "Selain itu, mereka tertekan dengan kehidupan kelompoknya sendiri. Misalnya, tetangga mereka memiliki barang mewah A, lantas dia terdorong juga untuk memiliki barang tersebut agar diakui kelompoknya," ujarnya.
Renumerasi, kata dia, merupakan langkah awal yang ditempuh pemerintah untuk menekan tingkat korupsi belum berhasil. Karena renumerasi yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan para PNS di Ibu Kota. "Itu saja tidak cukup karena godaan kehidupan ekonomi yang hedon dan materialistis terus mendesak-desak, dan itu sangat menggoda," imbuh pria yang juga aktif di Gerakan Indonesia Bersih (GIB) itu.
Keserakahan, sambung dia, memang timbul akibat pengaruh lingkungan. Mereka yang terbilang sukses selalu diidentikkan dengan menunjukkan materi sebagai simbol kejayaan. "Korupsi sudah mengakar secara budaya dan sosial, tekanan sosial yang tinggi itu yang mendorong orang untuk mencuri harta negara," tutupnya.
Kasus korupsi begitu meraja lela di Indonesia, tidak hanya dilakukan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pejabat tinggi negara, korupsi juga sudah dilakukan hingga tingkatan pegawai rendahan. Misalnya, kasus penggelapan pajak yang dilakukan PNS golongan III A di Dirjen Pajak, Gayus Tambunan sebesar Rp28 miliar. Jika Gayus saja berhasil menggondol harta negara sebesar itu, bagaimana dengan pejabat di atasnya?(bul)
(Hariyanto Kurniawan)