JAKARTA - Penyematan gelar pahlawan nasional kepada seseorang yang dianggap berjasa sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno (1959). Hal itu dilakukan agar generasi-genarasi muda penerus bangsa nantinya dapat mengenang dan mentauladani apa yang pernah dilakukan oleh seorang pahlawan nasional.
Awalnya, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno penyematan gelar pahlawan nasional tidak melalui proses penjaringan yang sulit dan panjang seperti sekarang ini. Mungkin karena banyak orang yang berjasa atau turut serta dalam perjuangan kemerdekaan, sehingga penyematan gelar pahlawan cukup didasari Surat Keputusan (SK) Presiden tentang penetapan orang menjadi pahlawan nasional.
“Waktu zaman Presiden Soekarno pemberian gelar pahlawan tidak seperti ini, dulu itu presiden hanya mengeluarkan Surat Keputusan bahwa seseorang tersebut diberi gelar pahlawan,” ungkap sejarawan asal Universitas Indonesia Magdalia Alfian kepada okezone, belum lama ini.
Seiring dengan perjalanannya dan pergantian kekuasaan, proses tersebut lama-lama berubah dan mulai memiliki aturan baku yang dituangkan sebagaimana dalam peraturan undang-undang yaitu Undang-undang No 5 Prps Tahun 1964, tentang Pemberian, Penghargaan/Tunjangan kepada perintis pergerakan kebangsaan/kemerdekaan.
Selain itu, menurut wanita yang merupakan anggota tim 13 atau Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) ini, penyematan gelar pahlawan dilakukan setelah generasi tokoh yang bersangkutan sudah tidak ada. Sehingga pada saat seseorang diberikan gelar pahlawan nasional oleh pemerintah, masyarakat yang ada merupakan generasi yang baru dan rata-rata mereka tidak hidup di masa tokoh tersebut hidup.
“Jadi kalau dia jadi pahlawan nasional, masyarakat kan tahunya peninggalan-peninggalan yang bagus-bagus saja, sedangkan yang buruk-buruknya tidak ada yang tahu karena masyarakat yang ada tidak hidup di zaman itu,” paparnya.
Begitu juga contoh yang terjadi belum lama ini seperti kontroversi pengajuan nama mantan Presiden Sooehato dan Gus Dur sebagai penerima gelar pahlawan nasional. Banyak kalangan atau sebagian masyarakat yang menentang pencalonan Soeharto sebagai penerima gelar pahlawan nasional.
Pasalnya, sebagian masyarakat menilai bahwa Soehato banyak memiliki kesalahan pada masa kepemimpinannya di orde baru.
Soeharto dianggap orang yang paling bertanggung jawab dalam banyak kasus HAM yang terjadi selama dia berkuasa. Namun sebagian masyarakat lainnya menilai bahwa Soeharto pantas dan berhak menerima gelar pahlawan atas jasa-jasanya selama ini.
“Soeharto, dia memerintah itu kan selama 32 tahun. Awalnya dia baik dengan program-program yang dilakukan, baik dalam hal Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN), swasembada pangan, dan lebih fokus sekuriti. Tapi pada akhir-akhir, banyak yang menyimpang dari pemerintahannya dan nggak sesuai dengan masyarakat yaitu setelah tahun 1980. Ya mungkin dia ada yang mempengaruhi pihak-pihak yang punya kepentingan,” ungkap Alfian.
Akan tetapi perdebatan tentang masalah tersebut memang pasti dialami oleh semua calon ataupun tokoh yang sudah mendapat gelar pahlawan nasional.
Namun seyogyanya masyarakat jangan hanya melihat seseorang dari satu sudut pandang saja, tapi dari berbagai sudut pandang sehingga bisa dilihat dengan objektif.
“Kalau kita tanya kepada rakyat kecil atau bawah lebih enak mana, zaman dulu apa zaman sekarang? Ya pasti dia jawab lebih enak dulu, karena harga-harga murah, sembako murah. Jadi kita enggak bisa melihat orang secara perspektif saja tapi secara keseluruhan,” Magdalia menambahkan.
Namun apakah perdebatan Soeharto tersebut karena memang masalah pencalonannya tidak terlalu lama?
Menurut pakar sejarah Universitas Indonesia ini, memang permasalahan waktu pencalonan seseorang setelah meninggal dunia juga memang menjadi faktor pendukung terjadinya kontroversi. Hal ini dikarenakan peninggalan-peninggalan buruk Soeharto masih terekam di masyarakat yang menentangnya.
“Kalau Soeharto dan Gus Dur itukan karena era-eranya tokoh itu masih ada jadi masih hangat ingatannya. Tapi kalau seperti pencalonan Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjadi pahlawan nasional itu kan kita nggak tahu zaman dulunya bagaimana, kehidupannya bagaimana, yang kita tahu yang bagus-bagusnya saja kan,” kupasnya.
Untuk itu, memang sekiranya harus ada aturan baku yang menjelaskan dalam jangka waktu berapa tahun seseorang bisa dicalonkan sebagai penerima gelar pahlawan nasional. Karena aturan yang ada memang tidak dicantumkan berapa lama seseorang baru bisa diajukan sebagai calon pahlawan nasional. Asalkan tokoh itu sudah meninggal dunia atau wafat, maka otomatis tokoh itu bisa diajukan sebagai pahlawan nasional, jika dianggap memiliki jasa-jasa besar dan memiliki kemampuan luar biasa terhadap pembangunan bangsa Indonesia.
“Bisa saja kriteria itu ditinjau ulang, seperti waktu meninggalnya tokoh berapa lama, misalnya harus 10 tahun. Tapi itu nantinya juga akan menjadi perdebatan, nanti ada yang menganggap yang penting tokoh itu kan sudah meninggal, karena memang pahlawan nasional itu ya dia harus meninggal dahulu,” tutupnya.
(Lusi Catur Mahgriefie)