Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Pasukan Tempur Mengajar di Pedalaman Papua

Prabowo , Jurnalis-Selasa, 07 Oktober 2014 |09:21 WIB
Pasukan Tempur Mengajar di Pedalaman Papua
Pasukan Tempur Mengajar di Pedalaman Papua (Foto: Ilustrasi/okezone)
A
A
A

YOGYAKARTA - Mengajar umumnya dilakukan oleh guru yang sesuai dengan displin ilmunya. Namun, bagi yang tinggal di hutan pedalaman Papua, sangat tidak mungkin terjangkau oleh guru untuk menularkan ilmunya.

Prajurit TNI AD yang bertugas untuk menjaga Teritorial di pedalaman hutan Papua ternyata mampu mengantikan peran guru. Hal itu yang dialami Prajurit TNI AD yang kini berpangkat Pembantu Letnan Satu (Peltu) Sugito, dalam tugas negara yang diemban sekira tahun 1995-1996 silam.

“Saat tugas di pedalaman Papua, Pak Sugito ini mengajar, jadi guru bagi masyarakat di sana," kata Kepala Penerangan Korem 072 Pamungkas Yogyakarta, Mayor Muh. Munasik ditemui di ruang kerjanya.

Masyarakat Papua yang tinggal di hutan, kata Munasik, tidak mengenal bahasa Indonesia. Dalam percakapan sehari-hari, mereka mengenakan bahasa khas daerah. "Tanyakan langsung dengan beliau (Peltu Sugito) karena yang mengalami bagaimana mengajar di pedalaman Papua," jelasnya.

Sugito mengaku 13 bulan menjadi guru bagi masyarakat di pedalaman Papua. Saat itu, dia masih menjadi pasukan tempur dari Batolyon Yonif 327 Brawijaya, Cianjur, Jawa Barat (kala itu, kini Yonif 300 Raider). Sugito hidup berbaur dengan masyarakat pedalaman yang tinggal di kampung Terasera, Papua.

"Saya ngajarnya ya yang biasa-biasa saja. Misal gambar garuda pancasila dan menghafalkannya sila-sila, kemudian ada bendera merah-putih saat dikibarkan kita harus hormat. Mereka sangat primitif sekali,” katanya.

Saat mengajar orang pedalaman, kata Sugito, ada penerjemah (orang asli Papua) yang disebut Gembala. Gembala ini merupakan tokoh masyarakat yang bisa berbahasa Indonesia sehingga memudahkan Sugito mentransfer ilmu, khususnya mengenai kebangsaan.

“Gembala ini tokoh masyarakat adat di pedalaman, tugasnya menikahkan. Kita koordinasinya hanya dengan Gembala, karena yang bisa mengumpulkan masyarakat, setelah kumpul, kita ajari sedikit-sedikit, cara berpakaian juga,” cerita bapak dua anak itu.

Model mengajar yang dilakukan cukup sederhana, dari pemberi materi kemudian praktek, hingga pengenalan nasionalisme. Misalnya, mengajarkan bahasa Indonesia, memperkenalkan bendera Merah Putih, menyanyikaan lagu-lagu kebangsaan, hingga mengajar berhitung.

Tak hanya itu, dia juga mengajarkan bagaimana mengenakan pakaian layak karena masyarakat di pedalaman tak memakai baju. “Maaf, mereka tidak menggunakan baju, setiap seminggu ada heli menurunkan pakaian bekas, dan makanan instan seperti mie dan roti. Kita ajari bagaimana berpakaian, mencuci, kadang sudah berpakaian, sehari kemudian dilepas lagi karena tidak nyaman,” ujarnya.
Disingung menu makanan? Pria yang lahir 18 November 1963 itu menghela nafas panjang. Sugito yang menjadi Prajurit TNI AD sejak 1983 itu mengenang apa yang dialaminya hidup di hutan bersama masyarakat pedalaman.

“Setiap hari yang dimakan ubi jalar (ketela), bukan nasi. Masyarakat sana menanam tebu dipingir lahan, kemudian bagian tengah ditanam ubi jalar. Kita disana setiap hari makannya ubi jalar itu sama dengan masyarakat di pedalaman,” cerita Sugito.

Pria yang kini tinggal di Krembangan, Panjatan, Kulonprogo, DI Yogyakarta itu juga mengajarkan hidup sehat dengan mandi setiap hari dua kali. Tak jarang, masyarakat engan mandi karena kondisi cuaca di hutan cukup dingin. Bau tak sedap saat perdampingan dengan masyarakat pedalaman bukan hal aneh karena mereka jarang mandi.

Dia juga menyampaikan dari satu perkampungan (Terasera) ke perkampungan lain yang terdekat butuh waktu lama. Tak ada jalan setapak yang menghubungan satu perkampungan ke perkampungan lain. “Misal kampung Terasera mau ke kampung Geselem, harus susuri sungai karena tidak ada akses jalan,” kenangnya.

Setelah menjalankan tugas di pedalaman Papua, Sugito ditarik kembali ke satuannya di Batalyon 327 Brawijaya, Cianjur, Jawa Barat. Setelah setahun di kesatuan, Sugito mendapat tugas baru di lokasi konflik, tepatnya di Biren, Aceh Utara pada tahun 1998-1999.

Tugas di lokasi konflik bukan hal baru. Sugito pernah mendapat tugas di Timor-timor (sewaktu belum keluar NKRI) selama 10 tahun, yakni dari 1985 hingga 1995. Tepat 17 tahun (1983-2000), Sugito menjadi pasukan tempur TNI AD. Tahun 2000, usai tugas di Aceh, Sugito keluar dari pasukan Batalyon dan masuk ke Makorem 072 Pamungkas Yogyakarta. 2016 nanti, Sugito bakal purna tugas dari TNI AD diusia 53 tahun.

“Kalau Perwira pensiun 57 tahun, saya masuk Bintara, nanti purna tugas usia 53, kalau masih diberi umur panjang, 2016 saya pensiun,” katanya.

(Okezone)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement