Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Negara Ini Boleh "Dirobek" tapi TNI Tetap Bersatu

Prabowo , Jurnalis-Selasa, 07 Oktober 2014 |17:01 WIB
Negara Ini Boleh
Jenderal Besar Soedirman (foto: Arsip Nasional)
A
A
A

YOGYAKARTA - Semasa hidup, Jendral Besar Soedirman tak pernah mengeluh dalam membela bangsa dari penjajahan Belanda. Dalam kondisi sakit pun, beliau tetap memimpin perang gerilya saat Belanda melancarkan Agresi Militer II pada Desember 1948 untuk menduduki Yogyakarta.

“Bayangkan, November 1948 Eyang Soedirman masuk RS Panti Rapih menjalani operasi Paru-Paru. Sebulan kemudian ada agresi Militer Belanda II, Eyang bangkit dan memimpin gerilya meski harus ditandu,” cerita Bugiakso, Ketua Umum Jendral Soedirman Center ditemui Okezone, Senin (6/10/2014).

Soedirman juga meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil dan istrinya yang tengah hamil untuk memimpin perang gerilya. Pergerakan Soedirman tak mampu dideteksi pasukan Belanda karena selalu berpindah-pindah.

“Sulit membayangkan kondisi yang tidak sehat karena hanya satu paru-paru yang berfungsi. Ia meninggalkan keluarga, anaknya yang paling besar baru 12 tahun, dan istrinya masih hamil. Itu semua ditinggalkan untuk memimpin perang,” kata suami Nining Tejoningsih, cucu Jendral Soedirman.

Soedirman juga masih bisa mendirikan markas sementara di sekitar Gunung Lawu untuk mengatur stategi perang gerilya. Di lereng Gunung Lawu itu, terlahir Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto (Presiden RI-2).

Saat Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada Juli 1949. Meski ingin melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, Soedirman mendapat larangan dari Presiden Soekarno, kala itu. Soekarno menyarankan agar Soedirman berobat dari sakit yang menggerogoti tubuhnya.

“Apa kata Soedirman ‘Yang sakit Soedirman, Panglima Perang tidak sakit’,” kata Bugiakso, menirukan ucapan Soedirman yang menolak berunding dengan Belanda. Kata-kata itu, lanjut Bugi, betapa sangat luar biasa untuk diteladani.

"Meninggalkan keluarga, mengabaikan kesehatan hanya untuk kepentingan rakyat. Makanya Eyang Soedirman pernah berkata ‘rakyat tidak boleh menderita, biarlah kami pemimpin yang menderita’, itu kata-kata yang sulit ditemui era kini,” imbuh bapak tiga anak ini.

Hampir selama tujuh bulan memimpin gerilya, Soedirman akhirnya menyudahi perlawanan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Dalam kondisi sakit, Soedirman tinggal di Magelang, Jawa Tengah. Kemudian, tepatnya 29 Januari 1950 Soedirman meninggal karena sakit di usia ke 34 tahun.

Perlawanan gerilya Soedirman ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit de corps bagi prajurit TNI, dan rute gerilya sepanjang 100-kilometer (62 mil) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah.

Nama Soedirman juga diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Begitu juga patung Soedirman, merupakan spirit keteladaan dalam mempertahankan bangsa dari penjajahan. Pada tanggal 10 Desember 1964, Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Bugiakso mengaku ada kata-kata dari Soedirman untuk prajurit TNI, yakni semangat persatuan dan mempertahankan bangsa. Kata-kata itu diperoleh saat menelusuri tapak tilas perlawanan Soedirman.

“Ada pesan buat TNI dari Eyang (Soedirman), ‘Boleh negara ini dirobek-robek, tapi TNI harus bersatu karena TNI yang bisa mempertahan keutuhan bangsa’,” kata alumnus Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta itu yang kini jadi pengusaha

(Risna Nur Rahayu)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement