JENEWA - Presiden Konfederasi Swiss Micheline Calmy-Rey mendesak sejarahwan asal Turki dan Armenia agar menyelidiki ulang peristiwa pembantaian Armenia, seiring dengan memburuknya hubungan Turki dan Prancis terkait isu tersebut.
"Para sejarahwan harus mendiskusikan penemuannya terkait peristiwa pembantaian itu," ujar Calmy-Rey, seperti dikutip Today Zaman, Selasa (27/12/2011).
Calmy-Rey juga menekankan, tidak ada hukum di negaranya yang mendesak warganya agar mengakui peristiwa pembantaian itu, seperti halnya yang dilakukan oleh Prancis.
Menurut para sejarahwan, sekira 1,5 juta etnis Armenia yang hiidup di wilayah timur Turki dibantai saat Perang Dunia I oleh Kekaisaran Ottoman Turki. Turki pun marah, tuduhan itu dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap negaranya. Turki mengatakan, jumlah warga Armenia yang tewas tidak mencapai 1,5 juta.
Pada 2007 lalu, Swiss menjadi mediator antara Turki dan Armenia dan pada Oktober 2009, kedua negara itu pun membangun hubungan diplomatiknya dan mengubur dalam-dalam kenangan pembantaian Armenia serta meratifikasi perjanjian perdamaian.
Calmy-Rey juga amat sangat mengecam tragedi tragis yang berlangsung pada 1915 silam, namun Swiss tetap akan bersikap netral terhadap insiden itu.
Munculnya undang-undang mengenai pembantaian Armenia di Prancsi tampak membuat Turki berang. Turki bahkan membekukan hubungan dengan Prancis dan memulangkan duta besarnya dari Paris.
Undang-undang itu akan memenjarakan dan mendenda setiap orang yang menyangkal adanya pembantaian Armenia. Sementara itu, Turki menilai undang-undang ini bersifat politis dan rasis. Prancis sendiri mengakui pembantaian itu pada 2001 silam.
(Rani Hardjanti)