YANGON - Seorang penulis di Pakistan mempertanyakan perhatian dunia atas kasus kekerasan atau bahkan pembantaian yang dialami oleh Muslim Rohingnya di Myanmar. Mereka sepertinya terlalu melebihkan proses reformasi yang tengah berlangsung di Myanmar.
Kourosh Ziabari mempertanyakan mengapa tidak ada satu media besar atau dalam hal ini media asing yang memberitakan tentang pembantaian umat Muslim di Myanmar, oleh kelompok etnis Rakhine. Menurut Ziabari salah satu media yang masih memberitakan kondisi Muslim Rohingnya justru dari media Iran, Press TV.
"Media-media seperti Reuters, New York Times, Washington Post, Fox News ataupun media-media lain di Prancis, Jerman, Inggris, Australia ataupun Kanada tidak pernah memberitakan tentang penderitaan warga Rohingya di Myanmar," ujar Ziabari, seperti dikutip the Nation, Senin (23/7/2012).
Etnos Rohingya adalah warga Muslim yang tinggal di wilayah Arakan. Hingga 2012, sekira 800 ribu warga Rohingya berdomisili di Myanmar. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan, mereka adalah salah satu warga minoritas yang paling menderita di dunia. Mereka terus menderita diskriminasi selama beberapa tahun terakhir.
Hingga kini, sebagian dari mereka sudah ada yang bermigrasi ke Bangladesh dan Malaysia. Sekira 300 ribu etnis Rohingya tinggal di Bangladesh dan 24 ribu lainnya di Malaysia.
Isolasi terhadap Muslim Rohingya terjadi jauh pada awal Perang Dunia ke-II ketika pasukan Jepang menyerang Myanmar yang saat itu masih menjadi koloni Inggris. Disebutkan, pada 28 Maret 1942, sekira 5.000 warga Muslim dibantai di Minbya dan Mrohaung oleh kelompok nasionalis Rakhine.
Menurut kelompok Amnesty International, Muslim Rohingya sudah lama menderita pelanggaran HAM dan akibatnya, sebagian besar dari mereka memilih untuk berimigrasi untuk mencari kehidupan lebih baik.
Salah satu diskriminasi yang dialami oleh Muslim Rohingya adalah hak mereka untuk mendapatkan kewarganegaraan selalu ditolak oleh pemerintah. Selain itu, Muslim Rohingya juga diharuskan untuk memiliki izin pemerintah bila ingin menikah. Mereka juga dilarang untuk memiliki anak lebih dari dua orang.
Karena Pemerintah Myanmar tidak pernah memberikan pengakuan kewarganegaraan mereka pun kehilangan tanah yang mereka miliki karena direbut oleh pemerintah. Selain itu mereka pun juga tidak diperbolehkan untuk bepergian.
Akibat dari diskriminasi ini warga Rohingya pun tidak bisa tahan. Banyak dari mereka melarikan diri ke Bangladesh dan sekira 111 ribu dari mereka tinggal di perbatasan Thailand-Myanmar.
(Fajar Nugraha)