JAKARTA - Politikus PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, menilai hasil survei yang menyebutkan banyak orangtua tidak ingin anaknya berkarir menjadi anggota DPR merupakan dampak penurunan kualitas demokrasi. Pemicunya tak jauh dari perlakuan Orde Baru yang mengakibatkan mayoritas rakyat apatis terhadap parpol.
"Kita sedang di tengah dampak deficit democracy, warisan Orba yang telah berhasil menghipnotis jargon politik non ekonomi yes, sehingga politik mendatangkan apatisme karena bukan jalan mulia untuk mengabdikan diri bagi nasib bangsa sebagaimana jaman pra kemerdekaan hingga Orde Lama," ungkap Eva kepada Okezone, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (19/11/2012).
Apalagi, kata dia selama Orba, politik diisi orang-orang 'dungu' karena hanya disuruh jadi stempel karet termasuk diisi oleh 25 persen anggota TNI, sisanya ada para anak istri komandan dan didominasi Golkar yang tugasnya menyangga otoritarianisme. Sehingga politik dimaknai sebagai dunia kotor, kejam, tidak produktif sebaliknya dunia ekonomi.
Bahkan, stigma itu berkelanjutan, termasuk di kalangan aktivis yang berparadigma 'anti state' ketika menggulingkan Suharto sehingga ogah masuk politik termasuk DPR.
"Dari riset Demos, orang-orang yang golongan lama, pro KKN yang akhirnya masuk sehingga substansi demokrasi tidak terwujud walau proseduralnya di puji-puji. Rekomendasi riset: himbauan orang-orang baik diminta masuk politik, jangan biarkan bad people run the nation," kata dia.
Kedua, lanjut dia, sebaliknya euphoria juga terjadi di parpol-parpol yang menikmati dipilih dan memilih tapi lupa untuk apa dua hal tersebut. Terlalu lama ditindas, sehingga tidak cukup persiapan untuk jadi parpol yang sesungguhnya. Parpol mulai nol lagi untuk mengais-ngais jaringan dengan parpol aliran-aliran sebagai induknya sebagai referensi bagimana berparpol yang benar.
"Saya sedih dengan hasil survei, itu membuktikan bahwa stigma masih berlanjut, orang tidak cukup sabar untuk berproses sehingga parpol normal kembali. Di saat yang sama ini juga soal politik media yang sadar atau tidak masuk frame deparpolisasi/deparlemenisasi sehingga opini publik ikut terseret oleh politik media tersebut. Bisa dibayangkan, karena tidak mungkin menghilangkan parpol dan parlemen, sebagai asesori wajib di negara demokrasi. Tapi, kemudian hanya 'bad people' yang masuk, rakyat akan remuk," jelas dia.
Anggota Komisi III DPR itu akan terus mengajarkan anak-anaknya bahwa politil adalah jalan mulia.
"Saya mendidik ke anak-anak bahwa politik jalan mulia karena memberi kesempatan berbuat banyak untuk bangsa dengan pahala dan dosa yang berlipat ganda. Politik bisa mengantar ke surga dan neraka sekaligus, itu pilihan politisi. Jadi penting untuk menyiapkan anak-anak yang berkarakter, berkomitment ke rakyat, berkapasitas dan mendorong mereka ke politik," tegasnya.
"Tapi anakku sendiri tidak berminat karena merasakan jadi korban emaknya yang bepergian melulu. Lalu gugatannya, kenapa mama ngirim duit ke orang-orang lain? Gimana bisa jadi kaya? Kujawab, jangan jadi PNS, jadilah seperti om Pram - kaya lalu masuk politik walau kekayaan bukan syarat mengabdi di politik, tapi jangan nyari duit dari politik. Dia bersiap-siap ke ITB, apa itu petanda dia tertarik politik tapi pakai cara Pram? Aku gak tahu, aku mendidik untuk to be political, bukan untuk jadi politisi," imbuhnya.
Kata dia, kuncinya adalah perbaikan di parpol. Tentunya dengan memperbaiki rekrutmen, dan berbasiskan kapasitas. Parlemen juga harus mereformasi diri serta memperbaiki akuntabilitas dan transparansi, termasuk mereformasi sekjen sehingga jadi supporting agency yang profesional dan independen.
Tidak berbisnis di parlemen sehingga DPR digebukin melulu akibat isu toilet, pewangi ruangan, renovasi pagar atau tisu. Di sisi lain, media juga harus patriotik dalam memberitakan parlemen seperti menulis sisi posisit dari parlemen dan tidak hanya memberitakan sisi gelap melulu.
(Muhammad Saifullah )