JAKARTA - Pakar hukum pidana, Chaerul Huda, menilai putusan majelis hakim menghukum perusahaan Asian Agri Grup (AAG) berupa denda triiliunan rupiah bisa berdampak pada kekacauan tatanan proses hukum. Pasalnya, kesalahan dalam kasus itu ada di tangan karyawan, namun yang dihukum adalah perusahaan.
"Ini menimbulkan kekacauan, karena ini kasus pertama karyawan yang menjadi terpidana, tapi perusahaan yang dihukum," kata Chaerul di Jakarta, Minggu 14 Juli.
Chaerul mengatakan Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) telah melakukan ‘akrobatik’ hukum dengan menghukum sebuah korporasi, padahal yang bersalah adalah karyawan bernama Suwir Laut.
Dia juga menilai majelis hakim bisa menghukum sebuah perusahaan yang ditujukan kepada direksi sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam dugaan tindak pidana yang dilakukan.
Menurutnya, jika Asian Agri tidak membayar denda yang diperintahkan majelis hakim, maka tidak ada yang bisa ditahan sebagai pengganti hukuman (subsider).
Terkait upaya hukum yang dapat diambil Asian Agri, Chaerul menambahkan, perusahaan kelapa sawit itu bisa mengajukan keberatan proses hukum kepada Direktorat Jenderal Pajak, Kejagung dan MA. Sedangkan terpidana Sawir Laut bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Chaerul berharap penegak hukum memperhatikan sisi kemanusiaan dalam hal ini nasib karyawan saat menjatuhkan hukuman terhadap sebuah perusahaan.
Mahkamah Agung memutuskan, nominal tunggakan yang tertuang pada surat ketetapan pajak (SKP) harus dilunasi Asian Agri Group sebesar Rp1,829 triliun ditambah denda Rp2,5 triliun, sehingga total kewajiban mencapai Rp4,3 triliun.