"Di sinilah cerdiknya dua kiai ini. Mereka memasukkan dua putranya untuk ikut sebagai tentara PETA," kata Cak Anam kepada Okezone di Graha Amerta, Surabaya.
Dua Kiai ini membuat taktik bahwa ketika Pasukan PETA dikirim berperang untuk membela Asia Timur Raya, maka akan terjadi kekosongan pemerintahan di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan tentara cadangan yang tidak ikut berperang hanya berjaga di Indonesia. Hasil lobi Mbah Wahab (KH Wahab Chasbullah), agar para satri juga dikirim untuk ikut sebagai tentara cadangan.
Permintaan itupun dikabulkan oleh Kumakichi Harada yang saat itu menjabat sebagai panglima PETA. "Akhirnya para santri ini diberangkatkan ke Cibarusa, Bogor. Di sana ada masjid yang dulu sebagai kamp pelatihan para santri selama 6 bulan," kata mantan Ketua GP Ansor Jawa Timur ini.
Hingga akhirnya, pada Februari 1945, kata Cak Anam, terbentuklah pasukan Hizbulloh. Jepang memang tidak mengetahui arti dari tentara Hizbulloh. Saat itu ada 500 orang tentara Hizbulloh yang merupakan alumni dari pelatihan di Cibarusa, Bogor.
Dari jumlah tersebut diambil lulusan terbaik sebagai panglima yakni Zainul Arifin. Zainul Arifin memegang tampuk kepemimpinan tertinggi dalam tentara Hizabulloh.