“Perlu saja jelaskan, tuntutan kompensasi dari Pemerintah Belanda terkait Agresi Militer (I dan II), bukan tuntutan utama kami. Kami tak menjadikan tuntutan kompensasi untuk 10-20 orang (keluarga korban) sebagai tujuan utama, melainkan pengakuan secara de jure Kemerdekaan 17 Agustus 1945,” papar Batara kepada Okezone via telefon, Jumat (13/3/2015).
“Mereka bersikeras pengakuan kemerdekaan kita (27 Desember) 1949, karena jika mereka mengakui akan dilematis dan fatal buat Belanda. Itu artinya mereka juga mengakui aksi polisionil pasukan Belanda jadi penjahat perang,” tambahnya.
Malah menurut Batara lagi, jika pemerintah Belanda membayar kompensasi justru jadi bentuk penghinaan buat Indonesia.
“Kalau kita hanya menuntut dan menerima kompensasi, berarti kita mengakui bahwa kita masih ada di bawah (pemerintahan) mereka sampai 1949. Lalu Presiden kita yang ke Belanda dianggap apa? Bukan dianggap Presiden artinya,” lanjut Batara.
“Soal kompensasi kita seolah-olah mengemis, buat saya itu memalukan. Semestinya upaya seperti itu dihentikan, karena seperti yang saya katakana, tujuan tuntutan kita adalah pengakuan dari mereka soal 19 Agustus ’45,” tuturnya.
(Randy Wirayudha)