SALAH satu bunyi perjanjian Linggarjati (15 November 1946, disahkan 25 Maret 1947) yang disepakati pihak Indonesia dan Belanda, adalah bahwa negeri kincir angin itu bersedia mengakui secara de jure, Pulau Sumatera, Jawa dan Madura adalah wilayah kedaulatan Republik Indonesia.
Sayangnya, Belanda baik di darat, laut dan udara masih kerap melakukan tindakan provokatif. Salah satunya yang terjadi di Teluk Sibolga, Sumatera Utara, 9 Mei 68 tahun silam (1947).
Diawali upaya Belanda yang memang ingin melemahkan ekonomi Indonesia dengan blokade laut, sebuah kapal Torpedo Jaeger (pemburu torpedo) Hr.MS Banckert JT-1 milik Koninklijke Marine (AL Belanda) diperintahkan berpatroli di pesisir barat Sumatera, 6-19 Mei 1947.
Tapi sebuah insiden terjadi pada 9 Mei 1947, ketika kapal Banckert masuk ke Teluk Sibolga ingin melakukan pengecekan terhadap sebuah kapal dagang dari Singapura berbendera Inggris, MTS Sembilan atau NR.4 Nanmei yang hendak bongkar muat di Pelabuhan Sibolga.
Belanda saat itu masih menganggap hukum laut di masa kolonial Hindia-Belanda masih berlaku. Sementara pihak Indonesia menganggap semua teritori, termasuk laut, sudah menjadi wilayah kedaulatan RI.
Di kapal dagang tersebut, sedianya sudah terdapat dua personel ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia, cikal bakal TNI AL). keduanya dipaksa turun oleh para awak kapal Banckert.
Tindakan Belanda itu dianggap mencederai Perjanjian Linggarjati dan terutama wilayah RI, hingga diprotes Residen Tapanuli, Dr. Ferdinand Lumban Tobing, kepada komandan kapal Banckert, Mayor (Laut) G. Kondys. Kapal Benckert kemudian menuruti protes itu untuk meninggalkan Teluk Sibolga keesokan harinya, 10 Mei 1947.
Hr.MS Banckert
Tapi ternyata Benckert kembali lagi dengan membawa dalih bahwa mereka diperintahkan pemerintah NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) menyeret kapal MTS Sembilan (Nanmei) ke Pelabuhan Emmahaven (kini Pelabuhan Teluk Bayur), Padang.
ALRI pun bersiaga untuk mencegah hal-hal buruk dan menempatkan sejumlah penembak di sejumlah posisi di pesisir Teluk Sibolga, termasuk di Bukit Ketapang.
Sementara itu, beberapa perwira ALRI menyatroni Kapal Benckert untuk bernegosiasi, diwakili Kapten Jetro Hutagalung, Letnan Sabar Hutagaklung, Letnan Banggas Lumban Tobing, Letnan Muda Sapiun Tanjung dan Lettu Oswald Siahaan.
Negosiasi coba dilakukan di atas dek kapal MTS Sembilan (Nanmei) yang sayangnya gagal terjadi. Ketika tengah menunggu kedatangan delegasi Belanda, motor-boat bersenjata malah dikeluarkan dari Kapal Banckert.
Pikiran buruk mulai menyelimuti. Para perwakilan ALRI memilih kembali ke motor-boat meski akhirnya dikejar motor-boat Belanda. Kejar-kejaran bak di film action terjadi. Motor-boat ALRI ditembaki mitraliur 20mm dan Oerlikon. Sementara para prajurit ALRI di pesisir coba memberi tembakan perlindungan.
Kontak senjata terjadi selama setengah jam, hingga para perwira ALRI bisa lepas dari kejaran motor-boat Belanda. Pun begitu, Kopral Galung Silitongan gugur dan Kopral Lambok Simatupang terkena luka tembak.
11 Mei 1947, Kapal Banckert kembali lagi memasuki Teluk Sibolga. Sementara di pesisir, ALRI dibantu sejumlah elemen bersenjata lainnya membentuk garis pertahanan dengan sejumlah meriam “hibah” dari pasukan Jepang. Ultimatum lebih dulu dilayangkan lagi kepada komandan Kapal Banckert yang tentu saja ditanggapi “cuek”.
Pertempuran pun tak terhindarkan terjadi pada 12 Mei 1947. Sebuah meriam dari Kesatuan Pesindo (Pemoeda Sosialis Indonesia) mengawali Pertempuran Teluk Sibolga. Sekiranya dua prajurit ALRI, termasuk Lettu Oswald Siahaan dan Kopral Zulkifli Tanjung gugur, dua lainnya luka parah. Di pihak Belanda, lima prajurit Belanda terluka.