MAKASSAR - Pengungsi Rohingya asal Myanmar di Makassar, Sulawesi Selatan, memimpikan negara tanah kelahirannya bisa seperti Indonesia yang aman dan leluasa menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan yang dianut.
Aman dan nyaman tanpa dihantui ancaman akan dibantai, dibakar hidup-hidup karena konflik agama seperti yang terjadi di Myanmar.
Demikian diungkap Haji Mohammad Thoyib (45 ), salah seorang pengungsi Rohingya yang "dituakan" di antara mereka, saat ditemui di wismanya sekembalinya shalat di masjid terdekat, Senin, (25/5/2015).
Selama kurang lebih empat tahun di Indonesia, di Kota Makassar khususnya, Mohammad Thoyib dan keluarganya serta pengungsi muslim Rohingya lainnya yang sama-sama ditampung di Wisma Budi, Jalan Harimau, Makassar menilai, Indonesia adalah tempat paling aman di dunia untuk hidup sebagai manusia beragama yang saling berdampingan.
Mohammad Thoyib sendiri sudah 27 tahun berpetualang mendatangi beberapa negara, demi mencari suaka seperti Bangladesh, Malaysia, Thailand, Malaysia dan beberapa negara kawasan Timur Tengah.
Karena status kewarganegaraan yang tidak jelas, dirinya terusir di negara-negara tersebut. Di Indonesia sendiri, dia sempat berada di Medan, Sumatera Barat, Bali, Kendari dan persinggahan terakhirnya sementara ini di Kota Makassar.
"Saya sudah sempat berada di Australia, negara tujuan mencari suaka. Tetapi saya tertipu oleh agensi dan akhirnya tertangkap, lalu dikirim ke Bali," papar Mohammad Thoyib.
"Di Bali sempat menjadi detensi di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim), lalu dikirim ke Makassar hingga saat ini," tambah sosok yang meninggalkan tanah kelahirannya sejak usia 18 tahun di tahun 1988 karena konflik agama yang terjadi.
Diakui, dirinya merasa nyaman hidup di Makassar. Mereka bisa diterima oleh masyarakat sekitar tanpa ada sekat dan pembeda bahwa mereka pengungsi Rohingnya. Mereka berbaur dengan tetangga juga sesama muslim di masjid.
Hanya saja, karena tidak diberikan keleluasaan mencari pekerjaan sebagaimana saat berada di Malaysia, di mana mereka sempat berdagang baju, aktivitasnya di Makassar sedikit terbatas.
Aktivitasnya hanya di sekitar wisma dan bisa keluar sepanjang masih di Makassar, bermodal kartu dari UNHCR. Adapun biaya hidup ditanggung oleh International Organization Migration (IOM).
Mereka diberi Rp1.250.000 per jiwa per bulan, sementara wisma tempat penampungan juga pihak IOM yang tanggung. Bedanya di Malaysia, memang mereka diberi izin tinggal sementara oleh UNHCR, tetapi biaya hidup tidak ditanggung.
"Untuk mengatasi kejenuhan, kami isi dengan kegiatan-kegiatan agama seperti ibadah shalat di masjid, tiba di wisma buat pengajian mengkaji hadist. Kalau sore yang muda-muda main takraw," tambah Haji Mohammad Thoyib dengan bahasa Indonesia dialek Makassar yang cukup fasih.
Meski kejenuhan itu selalu datang karena penantian yang tidak menentu kapan diberangkatan ke Australia, negara tujuan suakanya, warga muslim Myanmar ini mengucap rasa syukurnya karena diberi kesempatan tinggal di Indonesia.
"Kami berterima kasih kepada pemerintah Indonesia, khususnya di Makassar. Kami bisa diterima dengan baik. Warganya penuh empati, penuh kasih sayang, tidak ada benci, perbedaan agama berjalan dengan baik, damai, akur," tuntas Haji Mohammad Thoyib. (raw)
(Muhammad Saifullah )