JAKARTA - Ketua Institut Hijau, Chalid, mendesak pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpuu) dalam menegakkan hukum bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan.
Dalam Perppu itu, menurut Chalid, harus menyebutkan otoritas mencabut izin dari perusahaan diberikan kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Jika diberlakukan secara sektoral, tentunya akan sulit.
"Yang kedua memasukkan perusahan pelaku itu ke dalam daftar hitam (blacklist) industri kehutanan dan perkebunan, sehingga mereka tidak ganti baju (ganti merek perusahaan) dan mendapatkan konsesi yang besar," terangnya dalam diskusi di Gado-Gado Boplo Menteng Jakarta Pusat, Sabtu (19/9/2015).
Selanjutnya menurut Chalid, harus ada evaluasi terhadap semua perizinan karena tidak masuk diakal perusahaan-perusahaan tersebut menguasai ratusan ribu hektar lahan, padahal tidak semua lahan mampu mereka kelola dengan baik.
"Yang mereka mampu manage itu puluhan tibu hektar saja. Sementara mereka punya ratusan izin. Inikan berbahaya sekali dalam manajemen pengelolaan sehingga berbahaya sekali dalam menimbulkan kebakaran," jelasnya.
Bencana kabut asap yang telah terjadi selama 18 tahun ini, menurut Chalid, ibarat keledai memikul kedelai. Sebab titik api dan wilayah yang mengalami bencana tersebut selalu sama bahkan mengalami peningkatan yang signifikan.
Setelah ditelusuri titik api meningkat karena laju konversi kawasan gambut menjadi wilayah pekerbunan, kelapa sawit ataupun hutan tanaman idustri meningkat. Ada juga kebakaran yang tidak di gambut tapi proporsi paling dominan di wilayah gambut.
"Lahan gambut jika mengalami kebakaran apinya sampai masuk ke dalam, berikut ada operasi pemadaman, apinya padam asap akan mengepul ke udara. Di dalam apinya terus ada seperti bara dalam gambut. Jadi ada tren peningkatan seiring dengan peningkatan konversi kawasan," pungkasnya.
(Randy Wirayudha)