"Salah satu contoh bekas Kantor Wali Kota Jakarta Barat. Itu kantor harusnya merah (zona peruntukannya), untuk pemerintahan. Bagaimana zaman (Gubernur) Ali Sadikin pernah menang, lalu hanya karena kesaksian seorang lurah lalu kami kalah. Sudah kalah, kami juga wajib bayar sewa ke dia Rp40 miliar. Dia tidak pernah wajib bayar PBB," kata dia.
Kasus mafia tanah lain yakni lahan di Pluit, Jakarta Utara, yang diklaim sejumlah pihak sebagai tanah girik. Padahal, definisi tanah girik, menurut Ahok, adalah lahan pemerintah yang dipinjamkan kepada warga untuk digarap. Sesudah tak dijadikan lahan garapan, tanah girik tak bisa dikuasai warga. Sedangkan, lanjut dia, seluruh kawasan Pluit merupakan hasil reklamasi.
"Kemudian ada orang yang mengaku tanah girik. Itu juga sangat lucu. Seluruh Pluit itu hasil reklamasi. Bagaimana biasa di Waduk Pluit digugat Jakpro, ada orang dengan tanah girik menang. Girik dari mana? Girik itu garapan. Itu arti girik," jelas Ahok.
Sebelumnya, seorang warga Meruya Selatan bernama Teguh (62) mengeluhkan pencaplokan tanah secara sewenang-wenang oleh PT Porta Nigra. Ahok pun mengungkapkan tak bisa berbuat banyak mengenai hal itu, karena kemunculan mafia tanah berakar pada praktik korupsi yang belum bisa dipangkas habis hingga sekarang.
"Tanah kami diambil alih secara fisik oleh Porta Nigra. Tembok-tembok rumah kami ditempelin. Mereka datang bersama TNI dan Polri. Kami merasa diintimidasi, ditakut-takuti. Padahal, lahannya itu sudah sertifikat hak milik. Tapi dikavling dipasangi patok, itu tanah mereka. Mana buktinya kalau itu tanah mereka? Ini sertifikat hak milik, hak guna bangunan semua punya warga," terang Teguh.
(Salman Mardira)