SELIBERAL apa pun paham suatu negara, peran ganda perempuan tetap saja ada. Samantha Power adalah salah satunya. Perempuan warga negara Amerika Serikat (AS) ini bebas mengejar kariernya, mulai menjadi seorang pewarta yang wara-wiri memburu berita hingga kini duduk menjadi duta besar AS untuk PBB. Di samping itu, dia tetap seorang ibu dari dua anak yang usianya masih di bawah 10 tahun.
Menjadi utusan suatu negara tentulah bukan hal mudah, apalagi di sini dia menjadi perwakilan dari suatu negara adidaya yang banyak campur tangan dalam urusan dunia. Sejak ditunjuk menjadi dubes termuda AS pada Agustus 2013, Power telah memasang badan untuk negaranya membicarakan kebijakan dan resolusi-resolusi untuk Suriah, Korea Utara, dan urusan luar negeri lain, yang tidak sedikit merupakan bidang pembahasan yang berbahaya dan sensitif.
Akan tetapi, pemenang penghargaan Pulitzer 2003 (atas bukunya yang berjudul ‘A Problem from Hell: America and the Age of Genocide’) itu mampu berdiri tegak dan berbicara dengan lugas kepada dunia. Majalah Forbes bahkan menyebutnya sebagai kompas moral bagi diplomasi AS.
“Dia telah menjadi pejuang yang kuat untuk kebijakan luar negeri AS serta perjuangan hak asasi manusia dan demokrasi sejak dia menjabat pada 2013. Power menggunakan pengaruhnya untuk mendapatkan perhatian komunitas internasional, bersama-sama memerangi ISIL atau ISIS,” demikian penilaian Forbes, Jumat (10/6/2016), dalam menobatkan Power sebagai perempuan paling berpengaruh ke-40 dari 100 di dunia dan ke-15 dari 26 perempuan pemimpin politik di dunia per Juni 2016.