CIBIRAN, hinaan, dan pandangan sebelah mata mengiringi langkah Donald John Trump ketika mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) lewat Partai Republik sejak penghujung 2015. Bahkan, pencalonannya dianggap tidak serius dan dijadikan sebagai bahan lelucon di internet.
Berbanding terbalik dengan rivalnya asal Partai Demokrat Hillary Dianne Rodham Clinton. Mantan ibu negara AS itu mendapat dukungan luas untuk menggolkan ambisi pejuang feminisme, yakni memiliki perempuan presiden pertama sepanjang sejarah. Satu-satunya penghalang bagi Hillary adalah kolega sekaligus rivalnya Bernard Sanders yang didukung oleh kaum muda progresif.
Kembali ke Partai Republik. Donald Trump harus bersaing dengan sejumlah nama yang digadang-gadang lebih pantas sebagai calon presiden (capres) yakni Marco Rubio, Ted Cruz, Ben Carson, Jeb Bush, dan John Kasich. Latar belakang kelimanya sebagai pelayan publik dianggap lebih bernilai daripada Trump yang sama sekali tidak memiliki pengalaman di pemerintahan.
Serangkaian pemilihan pendahuluan (primary) dan kaukus menjadi pertarungan ketat dari kandidat Partai Republik dan Partai Demokrat. Seluruh 50 negara bagian Negeri Paman Sam memberikan suara mereka lewat delegasi masing-masing partai dalam kaukus dan primary. Pemenang kaukus dan primary pastinya akan memiliki daya tawar yang kuat dalam konvensi masing-masing partai.