BOYOLALI - Status Gunung Merapi naik ke level Awas. Gempa tektonik semakin sering terjadi. Dari puncak Merapi, awan panas semakin sering menyembur dari mulut Merapi.
Melihat kondisi itu, Pemerintah Kabupaten yang wilayahnya ada di lereng Gunung Merapi seperti Boyolali, Klaten, Sleman dan Magelang, mulai meminta warganya untuk mengungsi.
Tenda pengungsian pun mulai dipersiapkan. Ada yang menempati lapangan, Balai Desa, maupun menyulap gedung pertemuan atau gedung olahraga sebagai lokasi pengungsian.
Seiring peningkatan status Gunung Merapi ke level Awas, membuat sejumlah media massa, baik lokal maupun nasional bahkan internasional pun mulai memberitakan peningkatan status Gunung teraktif di pulau jawa ini.
Dony Mahendra salah satu wartawan dari koran di Jawa Timur ini pun tak mau melepaskan momen erupsi Gunung Merapi ini.
Bersama dengan wartawan lainnya, pria yang biasa dipanggil Dony inipun berangkat liputan ke Gunung Merapi. Meskipun belum paham dengan medan di lereng Gunung Merapi, Dony pun berangkat.
Dony memutuskan mengambil gambar erupsi Gunung Merapi dari daerah Kemalang, Klaten, Jawa Tengah. Pasca-status erupsi Gunung Merapi dinaikan, Dony pun dengan lancar bisa mengambil gambar.
"Asik bro, hawanya dingin banget, seger," ujar Dony sebelum belari mengejar warga yang masih memilih bertahan di kampungnya.
Dengan logat Jawa Timur, Dony pun bertanya apa alasan warga itu masih tetap mengurusi pertaniannya dan tak ikut mengungsi.
"Bapak kenapa masih di sini. Yang lain sudah mengungsi. Tidak takut pak dengan yang namanya wedhus gembel," tanya Dony.
Mendengar kalimat Dony yang menyebut wedhus gembel itu, membuat wartawan lainnya yang kebetulan liputan bersama Dony pun tertawa.
Bagaimana tidak, pria bertubuh kecil ini justru pernah mau mengambil gambar saat awan panas itu meluncur turun. "Masak sama rombongan wedhus saja takut. Aku malah pernah di seruduk wedhus. Gak sakit tuh," ucap Dony.
Awalnya, tak ada yang menghiraukan ucapan Dony. Namun, saat melihat Dony justru lari ke atas, disaat warga berteriak ada awan panas meluncur, baru wartawan lainnya tersadar kalau Dony ini tak tahu apa itu wedhus gembel.
"Wah ini yang aku tunggu-tunggu, gua naik dulu bro," ucap Dony sambil berlari keatas.
"Don, turun, elo mau terpanggang nekat naik keatas," teriak wartawan lainnya.
Mendengar teriakan dan langkah seribu wartawan lainnya meninggalkan lokasi di mana gambar itu diambil, Dony pun mengurungkan niatnya. Dan cepat-cepat berbalik arah.
Dengan wajah lugunya, Dony pun bertanya, apa itu wedhus gembel. Kemudian, wartawan lain pun menerangkan kalau wedhus gembel itu bukan sekumpulan kambing dengan bulu gembel. Melainkan awan panas yang bisa meluluhlantahkan apa saja yang dilaluinya.
Meski tahu bahaya sering mengancam setiap kali meliput erupsi Gunung Merapi, namun liputan itu kerap dianggap wartawan yang paling menantang.
Seperti yang dialami Dian Burhani, salah satu wartawan radio Nasional ini pun tak mau kalah dengan wartawan lainnya yang bertugas mengambil gambar. Baik itu gambar kondisi desa di lereng Merapi, maupun dilokasi pengungsian.
Pernah suatu ketika, meski hanya saat itu Kecamatan Selo tengah diguyur hujan yang cukup lebat. Saat hujan turun, bersamaan lumpur dari abu vulkanik Gunung Merapi itupun ikut tersapu. Dalam sekejap, seluruh jalan di kawasan Selo ini seakan di kepung banjir lumpur.
Wartawan yang saat itu tengah berada di warung tak punya pilihan lain selain bertahan di dalam warung sambil berjaga-jaga dari kemungkinan terburuk.
"Untungnya endapan abu vulkanik yang mencair karena hujan ini tidaklah banyak. Kalau banyak, kami tak tahu lagi. Tapi biar begitu, kalau saat itu kami keluar dari warung, kami bisa saja terjatuh karena derasnya air," terang Dian.
Bahkan Dian pun pernah merasakan hujan batu bercampur debu saat erupsi Merapi. Untungnya, saat hujan batu itu terjadi, dirinya masih menggunakan helm. Dan langsung memilih berlindung didalam kelurahan di daerah Cempogo.
Tak hanya itu saja, pengalaman mistik pun dia rasakan saat meliput erupsi Gunung Merapi. Bahkan seluruh orang yang saat itu ada di lokasi itupun melihatnya.
Saat itu gunung merapi erupsi. Suara sirine langsung menggema saat merapi erupsi. Kepanikan pun terlihat saat awan panas meluncur ke arah Selo yang jaraknya hanya 5 KM dari puncak merapi.
Untuk turun dari Selo jelas tidak mungkin. Jalan licin dan kalaupun turun jelas tak akan selamat. Akhirnya, tim relawan gabungan pun hanya punya satu cara saja. Yaitu meminta semuanya yang ada dilokasi itu untuk lari ke arah Gunung Merbabu.
"Saat sirine berbunyi semua panik. Apalagi saat melihat awan panas meluncur ke arah Selo. Bahkan karena panik, salah satu kontributor RCTI yang saat itu terkejut, seharusnya mengambil kamere, malah keliru ambil bantal dan mengarahkannya ke atas Gunung Merapi untuk mengambil gambar," terangnya tertawa bila mengingat itu semua.
Di saat seluruh yang ada di Selo ini tengah bersiap lari ke arah Gunung Merbabu, tiba-tiba, dari arah Gunung Merbabu meluncur sinar menghajar ke arah awan panas itu.
Usai dihantam sinar putih yang keluar dari arah Gunung Merbabu, awan panas itu pun memudar dan terpencar kearah Magelang.
"Semuanya melihat ada sinar putih menghantam awan panas. Warga Selo meyakini bila cahaya itu adalah selendang dari penguasa Gunung Merbabu," terangnya.
Meski Gunung Merapi erupsi dan wilayah Selo merupakan wilayah yang paling dekat dengan puncak Gunung Merapi, namun Dian lebih suka meliput di wilayah Selo.
Pasalnya, ada semacam kearifan lokal di Selo yang percaya selama abu vulkanik belum menyentuh wilayah Selo, mereka aman.
"Dan bila abu sudah jatuh di Selo, warga baru mau mengungsi. Karena, bila abu sudah masuk ke Selo, maka merapi akan mengalami erupsi yang cukup dahsyat. Kearifan lokal masyarakat lokal sana percaya bila mereka dilindungi Gunung Bibi. Yang mereka yakini sebagai Ibu dari Gunung Merapi," pungkasnya.
(Khafid Mardiyansyah)