Para warga Korut itu memiliki sejumlah usaha, seperti firma animasi komputer, industri manufaktur, dan aktivitas pasar gelap. Mereka juga hidup seperti layaknya seorang pengusaha biasa.
“Sebagian besar dari mereka memiliki jam tangan mewah, mengendarai mobil-mobil bagus. Anak-anak mereka pergi ke sekolah seperti biasa dan memiliki gawai terkini. Mereka seperti kebanyakan pengusaha,” ujar Hwang.
Mereka diyakini sudah tahu mengenai kabar meninggalnya kakak tiri Kim Jong-un itu. Namun, para ekspatriat Korut itu harus berpikir dua kali sebelum membagikan kabar kepada rekan atau keluarga. Mereka juga diwajibkan untuk melapor kepada pihak Kedutaan Besar Korut setiap bulan.
Alex Hwang menuturkan, para warga Korut itu harus menjalani proses ‘pendidikan’ di Kedutaan Besar sebelum kembali ke tengah-tengah masyarakat. Pada Sabtu 18 Februari 2017, terlihat sekira 40 orang warga Korut sedang menuju Kedutaan Besar di Kuala Lumpur.
“Mereka nampaknya hidup di bawah kontrol ketat Korut. Mereka hanya berinteraksi satu sama lain dan tidak diizinkan meninggalkan tempat tinggal yang sudah ditentukan,” ujar pengamat bernama Park Sokeel.
Ia yakin para pelayan di Pyongyang Koryo belum tahu mengenai kabar kematian Kim Jong-nam, sang putra tertua yang terasing. Sebab, akses mereka terhadap dunia serta media luar tetap terbatas seperti kehidupan di dalam negeri Korut. Hal yang sama juga terjadi kepada para penambang dan buruh asal Korut yang bekerja di wilayah terpencil Malaysia.
Park Sokeel yakin bahkan jika mereka melihat kabar tersebut dari media asing, para warga Korut itu akan sulit memahami. Sebab, sebagian besar dari mereka tidak tahu bahwa Pemimpin Tertinggi Kim Jong-un memiliki seorang kakak tiri.
(Wikanto Arungbudoyo)