DHAKA - Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, mengumumkan bahwa negaranya tidak akan menolak 700 ribu pengungsi Rohingya. Bangladesh, salah satu negara termiskin di dunia, telah melihat arus masuk cukup besar dari orang-orang Rohingya yang mendekati angka 370 ribu.
"Kami memiliki kemampuan untuk memberi makan 160 juta orang di Bangladesh dan kami memiliki cukup ketahanan pangan untuk memberi makan 700 ribu pengungsi," kata Perdana Menteri setelah mengunjungi Kamp Pengungsi Kutupalong di Ukhiya, Cox's Bazar, seperti dikutip dari Sputnik, Kamis (14/8/2017).
"Kami telah membiarkan orang Rohingya dalam krisis kemanusiaan dan saya meminta masyarakat negara ini untuk membantu meringankan penderitaan mereka dengan cara apa pun yang mereka bisa," imbuhnya sambil mendistribusikan bantuan saat mengunjungi berbagai kamp pengungsi.
Ia pun meminta masyarakan internasional untuk memberi tekanan pada pemerintah Myanmar agar mengambil kembali Rohingya yang merupakan warganegaranya.
"Bangladesh ingin menjaga perdamaian dan hubungan baik dengan negara-negara tetangganya, namun tidak dapat menerima tindakan tidak adil dari pemerintah Myanmar. Kami akan melakukan semua yang kami bisa untuk meringankan penderitaan para pengungsi Rohingya,"ujarnya.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra'ad Al Hussein juga mengungkapkan ketidaksetujuannya yang kuat atas tindakan pemerintah Myanmar terhadap orang-orang Rohingya.
"Karena Myanmar telah menolak akses terhadap penyelidik hak asasi manusia, situasi saat ini belum dapat dinilai sepenuhnya. Namun, situasinya tampaknya merupakan contoh buku teks tentang pembersihan etnis," kata Hussein dalam sebuah pernyataan Senin.
Sejak sebuah kelompok militan Rohingya menyerang pos-pos militer pada 25 Agustus, yang menewaskan sekitar belasan orang, militer pemerintah telah menanggapi dengan kasar. Menurut Hussein tentara Myanmar menggelar operasi yang jelas tidak proporsional dan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip dasar hukum internasional.
Sebagai tambahan, Aung San Suu Kyi, yang dikenal secara luas sebagai pemimpin de facto Myanmar telah banyak dikritik karena tidak membela orang Rohingya. Suu Kyi adalah peraih Nobel Perdamaian pada tahun 1991 karena perjuangan kerasnya melawan demokrasi dan hak asasi manusia.
(Emirald Julio)