Komisioner Tinggi HAM PBB, Zaid Ra'ad al-Hussein dalam pernyataan tertulis mengatakan bahwa tindakan-tindakan itu ditujukan untuk "memaksakan pemindahan orang tanpa kemungkinan untuk kembali." "Informasi yang bisa dipercaya mengindikasikan bahwa Myanmar secara sengaja menghancurkan harta orang Rohingya dan membakar pemukiman mereka di kawasan utara Rakhine. Tindakan ini ditujukan bukan hanya untuk mengusir Rohingya, tapi juga mencegah mereka kembali," kata laporan itu.
Laporan itu juga menyatakan bahwa pasukan keamanan pemerintah menghancurkan rumah, lahan pertanian, dan cadangan makanan sehingga tidak memungkinkan bagi warga Rohingya untuk kembali memulai hidup normal.
Tindakan itu "sangat ter-organisir, terkoordinasi, dan sistematis" dan dimulai dengan penangkapan terhadap sejumlah pria Rohingya di bawah usia 40 tahun, satu bulan sebelumnya. Penangkapan itu menciptakan "situasi ketakutan dan intimidasi." "Kami tidak bisa menyimpulkan apakan ini genosida atau bukan, namun ini tidak mengecilkan parahnya situasi yang dihadapi oleh warga Rohingya," kata Thomas Hunecke, yang memimpin tim PBB di tempat pengungsian Cox's Bazar, Bangladesh, dari 14-24 September lalu.
Dia juga mengatakan "sangat mungkin" pasukan Myanmar memasang ranjau di sekitar perbatasan sepanjang beberapa pekan ini untuk mencegah warga Rohingya pulang.
Meski komunitas internasional terus mengecam krisis di Myanmar, aksi militer di Rakhine adalah tindakan yang didukung oleh warga mayoritas Buddha, yang tidak bersimpati terhadap nasib Rohingya.