DAHULU ketika Kompeni Belanda masih berkuasa di Indonesia, di daerah Kemayoran—sekarang masuk ke wilayah Jakarta Pusat—tinggal seorang pemuda bernama Murtado.
Mengutip Ensiklopedia Jakarta (Eni Setiani,dkk, 2009), Murtado adalah anak seorang mantan lurah di daerah itu. Ia lahir pada 1869.
Murtado diceritakan memiliki sifat yang tidak sombong, berhati lembut kepada anak kecil, hormat kepada orang tua dan senantiasa bersedia menolong orang yang mendapat kesusahan.
Ia juga dibekali dengan ilmu ilmu agama, ilmu pengetahuan dan bela diri.
Pada masa Murtado hidup, daerah Kemayoran tidak tenteram. Penduduknya selalu was-was diliputi rasa takut karena diganggu para jawara Kemayoran yang berwatak kasar, dan juga gangguan dari jagoan-jagoan daerah lain yang datang ke daerah itu untuk megacau dan merampas harta benda penduduk.
Kadang-kadang mereka dengan beringas dan tidak kenal belas kasihan membawa lari anak perawan atau pun istri orang, kemudian memperkosanya dan kalau melawan tak segan-segan menyiksa dan membunuhnya.
Penduduk di daerah itu kebanyakan adalah petani kecil, para buruh tani dan pedagang asongan (kecil-kecilan) seperti pemilik kedai kopi, warung lapak dan sebagainya.
Akibat gangguan keamanan itu, banyak warung warga kemudian ditutup, sehingga mereka jatuh pailit dan hidup miskin.
Di samping gangguan kemanan, pihak Kompeni Belanda sebagai penguasa masih ikut menyengsarakan rakyat dengan membebani mereka dengan berbagai macam jenis pajak.
Rakyat juga diwajibkan menjual hasil bumi kepada Kompeni dengan harga yang sangat murah, diperas oleh tuan-tuan tanah dan diperdaya oleh golongan Cina yang memungut sewa tanah atau pun rumah dengan semena-mena.
Baca: Asal Muasal Nama Ragunan yang Kini Jadi Kebun Binatang
Baca: Benarkah Asal-Usul Nama Kawasan Cipete Terinspirasi dari Petai?
Para penguasa (dari kalangan pribumi) yang turut menyokong aksi Kompeni dan menjadi kaki tangan Belanda, antara lain bernama Bek Lihun dan Mandor Bacan.
Mereka bertindak sewenang-wenang merampas harta benda rakyat, merampas istri-istri atau menculik anak gadis orang lain dan memperkosanya. Tindakan mereka berdua sangat kejam.
Mereka hanya memikirkan keuntungan pribadi dan mencari muka kepada Kompeni. Pada wakti itu wakil Kompeni yang ditunjuk Belanda untuk menguasai daerah Kemayoran bernama tuan Rusendal, seorang warga keturunan Belanda.
Saat memerintah daerahnya, Rusendal memanfaatkan tenaga Bek Lihun untuk memeras rakyat dengan berbagai macam jenis pajak. Bek Lihun pada gilirannya menugaskan bawahannya, Mandor Bacan, untuk memaksa rakyat membayar berbagai macam jenis pungutan liar. Mereka yang membangkang akan didamprat, disiksa dan bahkan dibunuh.
Pihak Kompeni menutup mata terhadap segala kejahatan yang dilakukan Bek Lihun dan kawanannya. Dalam memerintah daerahnya, Kompeni jelas-jelas tidak berpihak kepada rakyat.
Kompeni tidak memikirkan jaminan keamanan di kampung-kampung. Mereka hanya menjaga keamanan diri mereka sendiri. Kalau ada kekacauan di kampung, mereka tidak peduli.
Mereka baru akan turun tangan kalau kaki tangan mereka sendiri mengalami kesulitan ketika menghadapi perlawanan. Dalam hal ini, mereka akan dengan segera melakukan penangkapan-penangkapan dan menjebloskan para pengacau itu ke tahanan.
Pada suatu hari di kampung Kemayoran diadakan derapan padi (panen memotong padi).
Setelah meminta izin kepada penguasa, rakyat diperbolehkan melaksanakan upacara tersebut dengant syarat setiap lima ikat padi yang dipotong, satu ikat adalah untuk yang memotong, sisanya empat ikat untuk Kompeni.
Petugas yang mengawasi jalannya upacara itu ditunjuk Mandor Bacan. Beberapa waktu setelah upacara itu berjalan, muncul seorang anak gadis cantik ikut memotong padi.
Murtado sebagai pemuda kampung ikut juga di situ dan berdiri di samping gadis tersebut. Mereka rupanya sudah lama berkenalan. Tiba-tiba Mandor Bacan melihat ke arah gadis itu dan menegurnya dengan kasar “Hei, gadis cantik, kamu jangan kurang ajar dan berlaku curang ya! Coba saya lihat ikatan padimu, ini terlalu besar.”
Murtado yang melihat kejadian itu marah. Ia tidak suka pada perilaku dan sikap Mandor Bacan. Lalu terjadilah perkelahian antara Mandor Bacan melawan Murtado.
Dalam perkelahian itu Murtado memperlihatkan ketinggian ilmu bela dirinya, sehingga Mandor Bacan dapat dikalahkan dan lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
Kejadian ini dilaporkannya kepada Bek Lihun. Mendengar laporan mandornya, Bek Lihun menjadi marah dan mengancam Mutado. Tetapi Murtado sudah mempersiapkan diri dan ketika dicari Bek Lihun dan anak buahnya, ia tidak dapat dijumpai.