Selain sosialisasi, lanjut Sudarno, Polda Bengkulu juga melakukan pemantauan terhadap medsos setiap hari, sebagai bentuk upaya preventif. Jika ditemukan konten hoaks maka akan membubuhkan stemple hoaks.
Sudarno menyampaikan, jumlah berita hoaks yang beredar khususnya berita palsu di Bengkulu, pihaknya belum mendata secara pasti. Meskipun demikian, Polda Bengkulu selalu memantau setiap hari konten medsos di wilayah bengkulu.
"Pengguna medsos yang memposting hoaks kami undang untuk klarifikasi tetapi kalau didalamnya juga ada tindak pidana maka dilakukan penegakan hukum,'' tegas Sudarno.
Untuk menghindari penyebaran berita palsu di medsos, Sudarno menyarankan, terkhusus untuk kaum milenial agar cerdas bermedsos. Caranya, dengan mengenali ciri-ciri berita atau konten hoaks.
Selain itu, tambah Sudarno, yang tak kalah pentingnya adalah dengan membaca berita yang ada di medsos hingga selesai atau tuntas serta tidak hanya membaca sebatas judul dan langsung share.
"Pengguna medsos harus mau cek dan ricek sumber berita dan mau googling tentang konten postingan, apakah informasi yang diterima itu betul atau tidak (jangan langsung share)," terang Sudarno.
Berdasarkan data Indonesia Digital Landscape 2018, pengguna internet berdasarkan umur 12-14 tahun 9,9 persen, 15-19 tahun 10,9 persen, 20-24 tahun 11,6 persen.
Lalu, 25-29 tahun 14,2 persen, 30-34 tahun 11,8 persen, 35-39 tahun 10,9 persen. Di usia tersebut termasuk dalam digital native. Di mana generasi yang lahir dan hidup di era internet menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Kemudian, 40-44 tahun 10,1 persen, 45-49 tahun 9,1 persen, 50-54 tahun 5,0 persen, 55-59 tahun 3,1 persen. Usia ini merupakan generasi immigrant.
Di mana generasi pendahulu yang mengenal internet, saat mereka telah dewasa. Geneasi ini harus belajar beradaptasi dengan internet
Sementara untuk penggunaan internet melalui komputer atau tablet dalam sehari masyarakat Indonesia, selama 5 jam 6 menit. Dengan menggunakan internet di ponsel selama 3 jam 10 menit. Kemudian, menggunakan internet melalui media sosial.
Social networking system, seperti Facebook (FB), Twitter, Instagram (Ig) dan YouTube maupun social platform seperti WhatsApp (WA), Line, selama 2 jam 52 menit. Terakhir, pengguna internet menonton tv, selama 2 jam 29 menit.
Direktur Sosialisasi, Komunikasi dan Jaringan, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Indonesia (BPIP), Aris Heru Utomo mengatakan, perubahan perilaku masyarakat sejak internet booming diikuti dengan perubahan komunikasi antara brand dan masyarakat.
Aris mencontohkan, ciri-ciri hoaks. Yakni, menciptakan kecemasan, kebencian, permusuhan, sumber tidak jelas dan tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab atau klarifikasi, pesan sepihak, menyerang dan tidak netral atau berat sebelah.
Lalu, mencatut nama tokoh berpengaruh atau pakai nama mirip media terkenal, memanfaatkan fanatisme atas nama ideologi, agama, suara rakyat, judul dan pengantarnya provokatif dan tidak cocok dengan isinya.
Selanjutya, memberi penjulukan, minta supaya di-share atau diviralkan, menggunakan argumen dan data yang sangat teknis supaya terlihat ilmiah dan dipercaya.
Kemudian, artikel yang ditulis biasanya menyembunyikan fakta dan data serta memelintir pernyataan narasumbernya, berita ini biasanya ditulis oleh media abal-abal, di mana alamat media dan penanggung jawab tidak jelas.
Terakhir, manipulasi foto dan keterangannya. Foto-foto yang digunakan biasanya sudah lama dan berasal dari kejadian di tempat lain dan keterangannya juga dimanipulasi.
"Hoaks dapat di cegah dengan cara pengguna internet musti hati-hati dengan judul provokatif. cermati alamat situs, periksa fakta, cek keaslian foto dan ikut serta dalam group anti-hoac," kata Aris, saat di Kota Bengkulu, Sabtu 14 September 2019.
(Fiddy Anggriawan )