Tim kemudian memutuskan menggunakan sumpit untuk membius beruang berbobot 40 kilogram ini. Setelah berhasil dibius, tim memotong jerat yang sudah menyiksanya sehari semalaman.
"Dokter hewan IAR Indonesia kemudian membersihkan luka-lukanya," jelas dia.
Ketika itu, Nanjung dibawa ke pusat rehabilitasi IAR Indonesia yang mempunyai fasilitas perawatan satwa untuk menjalani perawatan dan pemeriksaan lebih lanjut. Empat hari setelah berada di kandang karantina IAR Indonesia, tim medis menemukan pembengkakan pada tangan kanan Nanjung, yang terkena jerat.
Hari berikutnya, kondisi Nanjung memburuk. Tulang jari tangannya mencuat karena lapisan kulit dan daging yang membungkusnya sudah rusak. Sebagian membusuk.
Setelah melalui pemeriksaan lebih jauh dengan mengunakan sinar X dan melakukan diskusi yang melibatkan BKSDA Kalbar, tim medis memutuskan untuk mengamputasi tangan beruang ini pada 25 November 2019.
"Amputasi dilakukan sebatas lengan untuk mencegah infeksi dan pembusukan menyebar lebih jauh," tutur Karmele.
Hasil pemeriksaan ulang pada 1 Desember 2019 menunjukkan lukanya sudah pulih. Kemudian pada Jumat 17 Januari 2020, Nanjung sudah siap dikembalikan ke habitatnya.
"Setelah menjalani perawatan selama lebih dari sebulan, akhirnya Nanjung bisa pulang ke habitat aslinya," tutur Karmele.
BKSDA Kalimantan Barat bersama IAR Indonesia bekerjasama dengan PT Hutan Ketapang Industri (HKI) melepaskan Nanjung ke Kawasan Hutan milik PT HKI di Kendawangan, Ketapang, Kalimantan Barat.
Karmele mengatakan, meskipun kehilangan lengannya, beruang ini akan mampu bertahan hidup di alam. “Kami yakin beruang ini akan mampu bertahan hidup karena kemampuan adaptasinya yang tinggi. Selain itu kecerdasan yang dimiliki beruang ini akan menambah kesempatannya untuk bertahan hidup di alam,” ujarnya.
Meski demikian, sambungnya, permasalahan ini sebenarnya tidak akan selesai dengan melepaskan Nanjung ke habitat yang lebih aman. Kasus beruang terkena jerat di kebun warga hanyalah gejala, dan besar kemungkinan kasus seperti ini akan terulang lagi.
"Penyakit sebenarnya adalah rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan satwa liar dilindungi serta konversi dan alih fungsi hutan menjadi kebun dan pemukiman. Hutan yang kian menyempit menjadikan ruang gerak beruang ini makin terhimpit," kata dia.
Maka, sambungnya, tak heran beruang ini mencari makan di kebun warga. Karena, tidak apa pilihan lain untuk bertahan hidup.
Kepala BKSDA Kalbar, Sadtata Noor Adirahmanta menambahkan, sudah saatnya manusia harus berubah. Sudah waktunya manusia mulai sadar bahwa mereka sedang membunuh dirinya pelan-pelan.
"Semua bencana alam, konflik satwa dan lain-lain hanyalah pesan. Pesan yang disampaikan oleh alam bahwa kehidupan sedang bermasalah dan tidak baik-baik saja. Perusakan habitat satwa, yakni hutan, pada akhirnya akan menyengsarakan manusia juga. Ingatlah bahwa konflik-konflik satwa dan manusia hanyalah pesan bahwa kita bersama sama sedang menuju pada kepunahan," tutupnya.
(Khafid Mardiyansyah)