“Dilihat dari sisi akademik dan pelaksanaan, definisi tersebut menjadi permasalahan. Kata keyakinan diartikan dengan dimensi dalam dari perbuatan manusia. Keyakinan adalah sesuatu yang tidak tampak. Sebagian saja dan tindakan seseorang dilandasi keyakinan. Tetapi tidak semua keyakinan itu diekspresikan dengan sikap dan perbuatan. Ada kalanya perbuatan tidak sejalan dengan keyakinan,” ungkap Mu’ti.
Sehingga, kata Mu’ti, dalam mengatasi ekstrimisme tidak seharusnya diatasi dengan cara-cara yang ekstrim dan pendekatan pre-emptive.
Mu’ti mengimbau agar dilakukan dengan cara-cara persuasif, humanis, dan edukatif. “Tentunya juga dengan penegakan hukum dan peniadaan faktor eksternal non keyakinan, seperti ketidakadilan sosial, hukum dan politik yang tidak bisa diabaikan,” tegasnya.
(Khafid Mardiyansyah)