Kelompok minoritas Kristen Irak telah dilanda gelombang kekerasan sejak invasi yang dipimpin AS ke negara itu pada tahun 2003.
Paus Fransiskus membahas keselamatan kelompok itu dengan seorang ulama Islam Syiah terkemuka, Ayatollah Agung Ali al-Sistani, pada hari kedua lawatan bersejarahnya ke Irak.
Kantor Ayatollah Agung Ali al-Sistani, pemimpin spiritual jutaan Muslim Syiah, mengatakan pembicaraan tersebut menekankan perdamaian.
Sang Ayatollah menerima Paus di rumahnya di kota suci Najaf.
Audiensi dengan sang ayatollah yang dikenal sebagai penyendiri jarang terjadi, tetapi dia menerima Paus selama sekitar 50 menit. Keduanya terlihat berbicara tanpa mengenakan masker.
Ayatollah Agung al-Sistani "menegaskan kepeduliannya bahwa warga Kristen harus hidup dalam perdamaian dan keamanan seperti semua warga Irak dan dengan hak konstitusional mereka secara penuh".
Paus Fransiskus berterima kasih kepada Ayatollah karena telah "bersuara untuk membela mereka yang paling lemah dan paling teraniaya" selama masa-masa paling kejam dalam riwayat Irak, sebagaimana dilansir kantor berita Associated Press.
Pesan perdamaian pemimpin Syiah itu, menegaskan "kesucian hidup manusia dan pentingnya persatuan rakyat Irak".
Inilah pertemuan yang sudah ditunggu-tunggu selama bertahun-tahun: pertemuan antara pemimpin Gereja Katolik dan salah satu ulama paling tersohor dalam Islam Syiah, Ayatollah Agung Ali al-Sistani.
Bagi seorang Paus yang bersemangat untuk merangkul agama lain, pertemuan tersebut bisa dibilang sebagai momen paling simbolis dari kunjungannya ke Irak.
Beberapa kelompok militan Syiah smepat dilaporkan menentang kunjungan tersebut. Mereka menyatakan tur tersebut merupakan campur tangan Barat dalam urusan negara.
Diketahui, komunitas Kristen di Irak, salah satu yang tertua di dunia, jumlahnya merosot dalam dua dekade terakhir dari 1,4 juta hingga sekitar 250.000, kurang dari 1% populasi.
Banyak yang melarikan diri ke luar negeri dari kekerasan yang telah melanda negeri itu sejak invasi yang dipimpin AS pada 2003, yang menggulingkan Saddam Hussein.
Puluhan ribu orang Kristen juga terusir dari rumah mereka ketika kelompok militan yang ISIS menyerbu Irak utara pada 2014, menghancurkan gereja bersejarah, merampas properti mereka, dan memberi mereka pilihan untuk membayar pajak, masuk Islam, pergi, atau dihukum mati.
Gabungan berbagai faktor ini membuat para pejabat gereja meyakini "ada kemungkinan Kristen akan hilang dari Irak".
(Susi Susanti)