Komisi HAM Selidiki Tewasnya 9 Orang yang Diduga Pemberontak Komunis di Tangan Polisi

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Selasa 09 Maret 2021 05:52 WIB
Presiden Filipina Rodrigo Duterte meminta aparat keamanan abaikan HAM saat menumpas pemberontak (Foto: Reuters)
Share :

FILIPINA - Komisi Independen Hak Asasi Manusia (HAM) di Filipina  telah memulai investigasi tewasnya sembilan orang yang diduga pemberontak komunis di tangan polisi.

Pernyataan yang dikeluarkan lembaga pemantau HAM, hari Senin (08/03), menyebutkan mereka mengecam cara-cara kekerasan untuk menggulingkan pemerintah, namun respons aparat dalam menghadapi kelompok ini tetap harus menghormati prinsip hak asasi manusia.

Tindakan polisi yang menewaskan sembilan tersangka pemberontak komunis hari Minggu (07/03) dilakukan dua hari setelah Presiden Rodrigo Duterte memerintahkan aparat keamanan untuk membunuh pemberontak dan mengabaikan hak asasi manusia.

Upaya kelompok komunis untuk merebut pemerintah di Filipina sudah dilakukan selama lebih dari 50 tahun.

Sebelumnya, sejumlah kelompok HAM mendesak pemerintah menyelidiki kematian sembilan orang dan penangkapan empat orang lainnya dalam rangkaian aksi yang digelar kepolisian, pada Minggu (07/03).

(Baca juga: Militer Myanmar Cabut Izin 5 Media yang Liput Protes Antikudeta)

Seorang politisi menyebut operasi tersebut "banjir darah".

Rentetan kejadian ini berlangsung setelah Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, menyeru kepada kepolisian dan militer untuk "menghabisi" pemberontak komunis dan mengabaikan HAM.

Belum jelas apakah mereka yang tewas dalam rentetan aksi aparat merupakan pemberontak bersenjata atau aktivis sayap kiri.

Menurut sejumlah kelompok aktivis, di antara sembilan jenazah terdapat seorang pegiat lingkungan serta koordinator kelompok kiri, Bagong Alyansang Makabayan.

Lembaga Human Rights Watch mengatakan aparat tidak lagi membeda-bedakan antara pemberontak bersenjata dan aktivis.

(Baca juga: Koalisi Pimpinan Saudi Lancarkan Serangan Udara ke Ibu Kota Yaman)

"Rangkaian razia ini tampak menjadi bagian dari rencana terkoordinasi aparat dalam menggerebek, menangkap, atau bahkan membunuh para aktivis di rumah dan kantor mereka," kata Deputi Direktur Human Rights Watch di Asia, Phil Robertson.

Menurut dia, insiden-insiden ini, "jelas bagian dari kampanye perlawanan balik pemerintah yang kian brutal".

"Masalah mendasarnya adalah kampanye ini tidak lagi membedakan antara pemberontak bersenjata, aktitivis nonkombatan, pemimpin buruh, dan pembela hak-hak," ujarnya, dikutip kantor berita Reuters.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya