Satu diantaranya ialah seorang muda asal Skotlandia, George Frank Davidson, yang tiba di Jawa pada 1823 untuk bekerja di perusahaan yang didirikan oleh abangnya, John Davidson (Davidson 1846:9):134
"Aku melihatnya turun di Batavia dari kapal uap yang telah memba¬wanya dari Semarang. Kereta Gubernur Jenderal dan para ajudan berada di dermaga untuk menyambutnya. Dengan kereta itulah ia diangkut ke penjara, tempat ia diasingkan, yang tak ada yang tahu letaknya di mana, dan sejak itu tak terdengar lagi kabar beritanya. Orang yang bernasib malang!"
"Betapa berubah wajahnya, hal yang sudah semestinya, tatkala ia melihat ke arah mana kereta itu bergerak! Ia terhenyak ketika menjejakkan kaki di jalan masuk, jelas tampak tidak rela memasuki gedung besar yang tampak suram itu. Dia menatap sekeliling dengan gelisah dan, karena melihat tidak ada peluang untuk kabur, melangkah masuk. Sejumlah petugas menyusul. Sebelum yang berwenang menyuruh pintu ditutup, aku melihat pemimpin pribumi yang bernasib malang itu, bersama dengan dua istrinya, dikurung di dalam dua kamar yang tampak menyedihkan,"
Gedung besar yang tampak "suram” yang dikatakan oleh Davidson adalah Stadhuis atau Balaikota Batavia, di mana Diponegoro tinggal dari 8 April sampai 3 Mei 1830 (Van Doren 1851, II:54; De Haan 1935b, II:222).
"Namun ia tidak dipenjara di rumah tahanan polisi yang terletak di bawah Stadhuis itu, di mana Kiai Mojo dan rombongannya pernah ditahan dalam keadaan mengerikan dari awal 1829 sampai Februari 1830, dan juga tempat saudara kandung Mojo, Kiai Hasan Besari, meninggal hanya tiga bulan sebelumnya," papar Peter.
Sebaliknya, ia ditempatkan dalam dua kamar panjang di lantai atas permukiman kepala penjara Batavia yang berada langsung di atas penjara bawah tanah itu. Dua kamar berlangit-langit rendah itu adalah suatu tempat yang sering digunakan untuk menahan para pembesar pribumi Nusantara dan Eropa (De Haan 1935b:222).
Diponegoro merasakan tinggal selama tiga minggu di Balaikota sebagai siksaan, yang kemudian ia ceritakan kepada perwira kawalnya Knoerle dalam perjalanannya ke Manado dengan mengatakan bahwa “kesehatannya tidak memungkinkan dia hidup di Batavia di mana ia bisa menjadi korban hawa sangat panas”.
Sang Pangeran bukan satu-satunya pembesar yang terganggu kesehatannya selama sebulan itu. Enam puluh kilometer jauhnya di daerah Bogor yang berhawa pegunungan sejuk, seteru Pangeran itu, Johannes van den Bosch, juga mengalami gangguan kesehatan yang parah. Tidak bisa bekerja, ia diobati oleh para dokternya dengan garam air raksa karena penyakit yang dirahasiakan.
Dalam babad karyanya, Diponegoro menyatakan bahwa karena “sakit parah” yang memaksanya tinggal di pembaringan, Van den Bosch tidak bisa bertemu dia.
(Awaludin)