INGGRIS - Saat Inggris berduka atas kematian Pangeran Philip, hal yang sama juga dirasakan oleh masyarakat adat di sebuah pulau Pasifik di belahan dunia yang lain.
Selama beberapa dekade, dua desa di Pulau Tanna, Vanuatu, telah memuja almarhum yang bergelar Duke of Edinburgh itu sebagai sosok spiritual layaknya dewa.
Periode berkabung sedang berlangsung di pulau itu, dan anggota masyarakat adat berkumpul pada hari Senin (12/04) dalam sebuah upacara untuk mengenang Pangeran Philip.
"Hubungan antara orang-orang di Pulau Tanna dan orang-orang Inggris sangat kuat. Kami mengirim ucapan duka cita kami kepada keluarga kerajaan dan rakyat Inggris," ujar ketua suku Chief Yapa, seperti dilaporkan kantor berita Reuters.
Selama beberapa pekan ke depan, penduduk desa secara berkala akan bertemu untuk melakukan upacara bagi Pangeran Phillip, yang dipandang sebagai "keturunan dari roh atau dewa yang sangat kuat yang tinggal di salah satu gunung mereka", kata antropolog Kirk Huffman yang telah mempelajari suku-suku tersebut sejak tahun 1970-an.
Mereka akan melakukan tarian ritual, menggelar prosesi dan memperlihatkan memorabilita Pangeran Phillip, sementara para pria akan meminum kava, minuman yang wajib hadir dalam acara seremonial yang dibuat dari akar tanaman kava.
(Baca juga: Pasar di Tunisia Ramai Jelang Ramadhan karena Tradisi dan Takut Harga Naik)
Puncak acara ini akan diakhiri oleh "pertemuan penting" sebagai aksi pungkasan dari upacara berkabung mereka.
"Akan ada banyak kemakmuran yang dipamerkan" yang berarti tanaman ubi dan kava, kata wartawan Dan McGarry yang berbasis di Vanuatu.
"Dan juga babi, karena itu adalah sumber protein utama. Saya menduka akan ada banyak babi dibunuh untuk acara seremonial."
Selama setengah abad, Gerakan Pangeran Philip berkembang pesat di desa Yakel dan Yaohnanen - pada puncaknya, gerakan ini memiliki beberapa ribu pengikut, meskipun jumlahnya diperkirakan telah menyusut menjadi hanya beberapa ratus saja saat ini.
Penduduk desa hidup sederhana di hutan Tanna, seperti nenek moyang mereka.
Mengenakan pakaian tradisional masih menjadi hal yang lumrah, sedangkan uang dan teknologi modern seperti telepon genggam jarang digunakan dalam komunitas mereka sendiri.
Kendati mereka tinggal hanya beberapa kilometer dari bandara terdekat, "mereka baru saja membuat pilihan aktif untuk menolak dunia modern. Ini bukan jarak fisik, ini jarak metafisik. Mereka hanya berjarak 3.000 tahun," kata McGarry, yang kerap bertemu dengan penduduk desa.
(Baca juga: China Mulai Puasa Ramadhan pada Selasa)
"Kastom", atau budaya dan cara hidup penduduk desa yang berusia berabad-abad, memandang Tanna sebagai asal mula dunia dan bertujuan untuk mempromosikan perdamaian - dan di sinilah Pangeran Philip memainkan peran sentral.