Militer Targetkan Nakes, Sistem Kesehatan di Myanmar Nyaris Kolaps

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Selasa 27 April 2021 15:37 WIB
Foto: Reuters.
Share :

YANGON - Para tenaga kesehatan Myanmar kini berada pada posisi dilematis, antara kewajiban merawat pasien dan bekerja untuk pemerintahan junta militer yang melakukan aksi brutal terhadap rakyatnya sendiri.

Moe, bukan nama sebenarnya, berusia 53 tahun dan kini mengidap kanker payudara stadium tiga.

Dia menjalani perawatan terapi penyinaran setiap tiga pekan sekali di Rumah Sakit Umum Mandalay milik pemerintah di Myanmar utara. Namun, ketika militer melengserkan pemerintahan sipil Myanmar yang terpilih melalui pemilu demokratis pada 1 Februari, rumah sakit tersebut mendadak tutup.

BACA JUGA: Pertempuran Sengit Pecah di Perbatasan Myanmar - Thailand

Para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain melangkah ke luar dari fasilitas itu sebagai aksi protes. Sampai saat ini mereka belum kembali ke rumah sakit tersebut.

Akibatnya, perawatan Moe terbengkalai. Dia tidak mampu membayar biaya sekitar USD700 (Rp10,1 juta) untuk menuntaskan terapi penyinaran di rumah sakit swasta. Tanpa perawatan itu, dia meyakini umurnya tersisa satu tahun lagi.

Walau demikian, Moe tidak menyalahkan para dokter. "Ini salah militer," katanya kepada BBC.

"Kalaupun saya meninggal akibat kanker, saya menerimanya. Rakyat Myanmar berhak mendapatkan demokrasi."

'Nyaris kolaps'

Sistem layanan kesehatan adalah salah satu sektor paling terdampak parah pascakudeta pada 1 Februari. Saat itu militer mengambil alih kekuasaan yang kemudian ditanggapi sebagian rakyat dengan menggelar rangkaian demonstrasi.

Para peserta aksi-aksi tersebut beragam, termasuk ribuan dokter. Mereka dan sejumlah pegawai negeri sipil turut ambil bagian dalam gerakan pembangkangan sipil, yaitu mogok bekerja di bawah junta militer.

BACA JUGA: Dokter, Perawat, Apoteker, Mahasiswa Kedokteran Turun ke Jalan Protes Kudeta Militer

Mayoritas dari 54 juta penduduk Myanmar bergantung pada sistem layanan kesehatan umum Myanmar yang mencakup sekitar 80% dari semua rumah sakit dan klinik di negara itu melalui sistem subsidi.

Sehingga ketika ribuan dokter ambil bagian dalam mogok nasional di tengah pandemi global, sistem itu tiba-tiba lenyap.

"Situasinya kelam," kata Dr Mitchell Sangma, yang berada di lapangan untuk organisasi Dokter Lintas Perbatasan (MSF) di Kota Yangon.

"Sistem kesehatan umum nyaris kolaps," tambahnya.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya