Data statistik resmi Kementerian Kesehatan dan Olahraga yang kini dikendalikan junta militer menjadi tidak dapat diandalkan. Namun, sekilas, laporan rata-rata penularan menunjukkan sistem pengujian telah rusak.
Pada Januari, sebulan sebelum kudeta terjadi, Myanmar mencatat 15.515 kasus Covid-19. Dua bulan kemudian, pada Maret, atau sebulan setelah kudeta, Myanmar hanya mencatat 538 kasus—penurunan 97%.
Menurut para pakar, tanpa peninjauan secara epidemiologi, kemungkinan Covid-19 di Myanmar telah menyebar luas dan punya konsekuensi mematikan.
'Mengerikan'
Kudeta juga berdampak pada penyebaran penyakit lainnya. Berdasarkan keterangan sejumlah dokter, jumlah pengidap penyakit mematikan, seperti HIV dan tuberkolosis, telah menurun secara perlahan selama 20 tahun terakhir.
Akan tetapi, kondisi ini bisa berubah 180 derajat.
HIV, misalnya, merupakan krisis yang berkembang di Myanmar pada 1990-an. Tapi jumlah penularan dan kematian terkait Aids merosot, sebagian karena program pemerintah yang disokong bantuan internasional.
Program itu malah dibekukan pascakudeta, kata Pavlo Kolovos, mantan kepala MSF di Myanmar.
"Ini mengerikan. Benar-benar tragis melihat kemajuan yang dibuat Myanmar di bidang kesehatan masyarakat menghilang secara cepat seperti ini," kata Kolovos.
Ditambahkannya, pendonor besar internasional enggan berurusan dengan Kementerian Kesehatan dan Olahraga sehingga mereka menarik bantuan dana dari program-program kunci yang menyediakan jaring pengaman bagi jutaan pasien.