NAYPYIDAW – Kudeta di Myanmar terjadi setahun yang lalu, dan saat ini militer tetap berkuasa dan para pemimpin yang dipilih secara demokratis menghadapi hukuman penjara yang lama, sementara rakyat terus melawan perebutan kekuasaan oleh militer itu.
Myanmar terperosok dalam kekacauan dan kekerasan sejak militer menolak hasil pemilu November 2020 dan menggulingkan pemerintah sipil pada 1 Februari 2021.
Kelompok HAM mengatakan, sekira 1.500 warga sipil termasuk puluhan anak-anak tewas dan ribuan lainnya ditangkap dalam tindakan keras oleh militer terhadap pengunjuk rasa.
Namun, kekerasan itu tidak menurunkan tekad rakyat untuk menuntut kembalinya demokrasi.
Pelapor Khusus PBB Urusan Myanmar,Tom Andrews mengatakan, “Saya kagum pada rakyat Myanmar dan yakin bahwa ini mengejutkan Jendral Min Aung Hlaing dan junta militer, yang mengira mereka bisa lolos begitu saja.”
Militer menangkap, mengadili, dan menghukum pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden U Win Myint, dan pejabat tinggi lain dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing menghadiri pertemuan puncak ASEAN di Indonesia April lalu. Ia setuju untuk menerapkan rencana lima hal yang mencakup, mengakhiri kekerasan dan memulai dialog nasional.
Namun, sejauh ini janji itu tidak ditepati.
Dewan Keamanan PBB tidak mengambil tindakan. Pemegang hak veto China dan Rusia tidak ingin militer Myanmar dikenai sanksi atau embargo senjata.
Tanpa tindakan dewan PBB pada 18 Juni, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang pada dasarnya mendesak embargo senjata. Tetapi resolusi itu tidak mengikat secara hukum.