Pada Februari 2015, para pemimpin dari Ukraina dan tiga negara penjamin Rusia, Prancis dan Jerman bertemu di Ibu Kota Belarusia, Minsk, untuk menyepakati Perjanjian Minsk, kesepakatan gencatan senjata dan perdamaian komprehensif yang bertujuan untuk mengakhiri konflik di Donbass dan mengintegrasikan kembali Donetsk dan Lugansk kembali ke Ukraina dengan imbalan otonomi luas yang diamanatkan secara konstitusional.
Namun, selama bertahun-tahun Pemerintah Ukraina berturut-turut gagal membuat kemajuan dalam mengimplementasikan bagian politik kesepakatan itu, demikian dilansir dari Sputnik.
Pada 2019, upaya untuk mengimplemetasi Perjanjian Minsk oleh Presiden Volodymyr Zelensky yang baru terpilih dibatalkan setelah puluhan ribu pengunjuk rasa, termasuk veteran perang Donbass dan milisi ultra-nasionalis, berkumpul di Kiev dan mengancam akan menggulingkan pemerintahannya.
Gencatan senjata yang rapuh antara Ukraina dengan milisi Donbass dilanggar akhir pekan lalu setelah serangan mortir, penembak jitu, pengeboman, dan tindakan kekerasan lainnya terjadi di Donbass. Pengamat dari Organisasi untuk Kerjasama Keamanan di Eropa (OSCE) mencatat ratusan pelanggaran gencatan senjata oleh kedua belah pihak.
Untuk menanggapi eskalasi konflik yang terjadi, pada Jumat (18/2/2022) pimpinan DPR dan LPR mengumumkan mobilisasi umum dan mulai mengevakuasi penduduk sipil mereka ke Rusia. Pada Senin (21/2/2022), ketua DPR dan LPR Denis Pushilin dan Leonid Pasechnik secara resmi meminta Putin untuk mengakui status mereka sebagai negara merdeka, permintaan yang disetujui oleh Kremlin.
(Rahman Asmardika)