Mengingat lebih murah diproduksi ketimbang etanol -- satu-satunya jenis alkohol yang aman untuk dikonsumsi -- sering kali methanol dijadikan bahan miras oplosan untuk meningkatkan kadar alkohol agar bisa mendapat laba yang besar, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah seperti Kamboja.
Sejak meningkatnya kasus kematian akibat keracunan metanol itu, pihak berwenang Kamboja berupaya menunjukkan bahwa mereka serius mengusut masalah tersebut.
"Sedikitnya 15 penyuling miras arak beras dan penjualnya telah ditangkap," kata polisi Kamboja.
Sedangkan Kementerian Kesehatan mengimbau warga tidak mengonsumsi miras oplosan karena berisiko beracun.
Di Pursat, aparat telah melarang produksi dan penjualan arak beras dan herbal. Distrik yang menjadi lokasi desa Thnong juga melarang untuk sementara waktu produksi, impor dan ekspor serta peredaran arak beras.
Namun Dr Knut Erik Hovda, pakar global soal keracunan metanol dari Universitas Oslo, mengatakan memberi pendidikan atas bahaya miras oplosan lebih penting ketimbang merazia penjualnya.
"Tentu saja bila saya jadi aparat di Kamboja saya tidak akan membiarkan orang-orang menjual miras beracun itu, tapi saya tidak terfokus ke hal itu," ujarnya.
"Saya akan fokus pada mengedukasi warga dan penyedia layanan kesehatan soal bagaimana mengatasinya saat kasus itu terjadi. Ini telah terjadi selama 100 hingga 150 tahun terakhir dan akan terus terjadi,” lanjutnya.