Pandemi disana bukannya dijadikan pelajaran untuk menghargai penderitaan rakyat, malah memperlonggar opresi terhadap aspirasi. Segelintir Oknum Demokrasi itu berharap kalau peraturan dikeluarkan berdasarkan persepsi manunggal birokrasi dan kuasa para pemimpinnya, naskah akademik dikotak-katik agar independensi keilmuan bisa diaduk-aduk demi mendapat pembenaran kepentingan para Oknum Demokrasi.
Para Oknum Demokrasi menginginkan kalau konsultasi publik hanya seremoni penggugur kewajiban semata, yang mengambil keputusan hanya dilingkaran mereka sendiri. Rakyat wajib ikut saja, persis sistem monarki.
Oknum Demokrasi inginnya undang-undang itu sengaja dibuat compang-camping prosedur, atau demokrasi disesak jejalkan formalitas atas nama wibawa negara. Mereka ingin birokrat dan pejabat apalagi wakil rakyat perlahan membangun monarki, seolah tidak ada kepentingan lain selain kepentingannya sendiri.
Oknum Demokrasi ingin pula nilai baik dan benar dimonopoli oleh kecongkakan atribusi pangkat dan jabatan. Oknum Demokrasi sangat senang jika banyak pejabat tinggi Negara -62 yang congkak, merasa sudah cukup pengalaman dan bijak untuk memberikan yang terbaik di hadapan presidennya, padahal mungkin banyak pejabat yang tidak ingin bersikap demikian.
Manunggalnya kekuasaan dan kecongkakan akhirnya bisa berujung pada otak-atik konstitusi secara serampangan. Rakyat dianggap permisif, akan asal ikut saja. Sang Presiden Rakyat akan dianggap manut atas ulik aksara demi bertambahnya kuasa para pencari muka.
Tidak! Sang Presiden Rakyat tidak akan duduk bertambah-tambah masa demi kepentingan para Oknum Demokrasi itu! Presiden Rakyat tidak takut kalau hasil karyanya tidak dapat dilanjutkan. Rakyat justru akan marah jika kerja keras Sang Presiden Rakyat dicemooh, dirusak, apalagi dibatalkan.
Para Oknum Demokrasi sedemikan menghina suara rakyat diatas kertas Pemilu. Dana Pemilu dianggap sangat mahal sehingga harus ditunda, padahal banyak Oknum Demokrasi sendiri lahir dari biaya yang memang tidak murah demi tegaknya demokrasi di Negara -62 dan ruang mereka yang bergengsi. Money politics dianggap berlebihan padahal mereka juga yang menyuburkan praktek perilaku koruptif dalam Pemilu. Kini, para Oknum itu sudah beratribut, lalu malah menyalahkan dampak dari keadaan yang mereka bangun sendiri.
Sedemikan goyah kah fundamental ekonomi di Negara -62, sehingga pandemi telah membangkrutkan anggaran pemerintah yang para Oknum Demokrasi itu bahas sendiri? Selemah itukah rakyat menghadapi pandemi? Tidak! Memang banyak yang putus kerja, banyak yang merugi karena corona, tapi rakyat tidak se-papa dan se-merana yang mereka kira. Rakyat Negara -62 adalah masyarakat yang resilience, tangguh! Tidak seperti Oknum Demokrasi yang cengeng karena takut menghadapi suara rakyatnya sendiri.
Apakah sedang terjadi kekacauan sosial yang merajalela dan penjarahan dimana-mana? Apakah polisi dan tentara Negara -62 tidak lagi memiliki kehebatan untuk menjaga keamanan dan kedaulatan? Atau wabah corona sudah merenggut separuh dari generasi muda Negara -62 sehingga tidak ada lagi jiwa-jiwa muda dan pikiran-pikiran cerdas yang pantas menjadi pilihan rakyat selanjutnya sebagaimana konstitusi mereka telah menyuratkan secara nyata? Lalu kecengengan para Oknum Demokrasi akan merombak konstitusinya sendiri demi menutup ketakutan mereka jika pemilih menentukan beda?