Helikopter-helikopter militer ini dipakai untuk misi suplai dan transportasi.
Selama bertahun-tahun, AS dan sekutu-sekutunya mengucurkan puluhan miliar dolar untuk memberi pelatihan dan peralatan bagi militer Afghanistan, dengan harapan mereka dapat melawan Taliban saat pasukan asing pergi dari sana.
Tapi harapan itu hanya angan-angan.
Pasukan Afghanistan kehilangan kendali atas negara itu begitu Taliban menyerang dengan kecepatan mencengangkan setelah Presiden Biden berpidato pada April tahun lalu, menetapkan 11 September sebagai hari pasukan AS meninggalkan Afghanistan.
Pada Juli, saat Afghanistan mulai kacau, tanggal itu dimajukan ke 31 Agustus. Bahkan tanggal itu pun kemudian dibalap dengan kecepatan serangan Taliban.
Pada 6 Agustus, ibu kota provinsi pertama diambil alih oleh militan Taliban.
Satu demi satu kota jatuh ke tangan Taliban, sebelum kelompok itu menguasai Kabul tanpa serangan balasan pada 15 Agustus.
Pasukan bersenjata Afghan, yang dilatih dan dipersenjatai dengan dana besar, ambruk. Para pemimpin Afghanistan kabur ke luar negeri, bersama puluhan ribu penduduk dan warga asing di negara tersebut.
Presiden Biden mengkritik para anggota pemerintahan Afghanistan yang kabur dan berkata militer mereka “menyerah, sering kali tanpa berusaha melawan”.
Bagi Momand, kesetiaannya sudah jelas.
Dia ingat ketika melapor untuk bertugas ke Pangkalan Udara Kabul pada 14 Agustus. Situasinya sangat tegang karena Taliban telah mendesak masuk ke perbatasan ibu kota. Rumor menyebar tentang para politisi dan pemimpin militer yang berencana melarikan diri.
Bandara Kabul masih di bawah kendali militer AS, namun seberapa lama mereka bisa mempertahankannya adalah tanda tanya besar.
“Komandan angkatan udara kami memerintahkan semua pilot untuk terbang ke luar negeri. Dia memerintahkan kami untuk pergi ke Uzbekistan,” kenang Momand.