Dianggap Gagal, Warga Korsel Protes Tuntut Persiden Yoon Mundur Terkait Pesta Halloween Berdarah di Itaweon

Susi Susanti, Jurnalis
Senin 07 November 2022 07:21 WIB
Warga Korsel gelar aksi protes terkait tragedi berdarah pesta Halloween (Foto: AFP)
Share :

SEOULWarga Korea Selatan (Korsel) menggelar aksi protes terkait tragedi berdarah pesta Halloween di Itaewon, Seoul. Pada Sabtu (5/11/2022), aktivis dan kelompok politik melakukan gelombang kemarahan dengan setidaknya tujuh protes berjaga-jaga di seluruh ibu kota.

Kerumunan 200 pengunjuk rasa dari berbagai kelompok politik pemuda berkumpul di dekat lokasi kejadian di Itaewon, memegang spanduk bertuliskan "Pada 6:34 negara tidak ada [untuk para korban]".

Mengenakan pakaian hitam dan masker wajah, mereka mengangkat tinggi-tinggi spanduk bertuliskan: "Pada 6:34 negara tidak ada [untuk para korban]".

Baca juga: Marah ke Pemerintah, Warga Korsel Gelar Aksi Protes Terkait Pesta Halloween Berdarah di Itaewon

Kelompok protes ini diorganisir oleh Candlelight Action, aliansi kelompok progresif, yang telah mengadakan protes politik reguler terhadap Presiden Yoon bahkan sebelum tragedi Itaewon.

Baca juga: Imbas Tragedi Berdarah Pesta Halloween di Itaewon, Kepala Polisi Membungkuk dan Minta Maaf

Protes itu diadakan di dekat Balai Kota yang melihat dua jalur jalan utama diblokir untuk menampung puluhan ribu pengunjuk rasa. Banyak yang membawa tanda protes berwarna hitam yang bertuliskan "Mundur adalah ungkapan belasungkawa" - pesan yang ditujukan untuk Presiden Yoon.

"Mundur, pemerintahan Yoon Suk-yeol! Mundur, pemerintahan Yoon Suk-yeol!,” teriak para pendemo sambil melambaikan lilin dan plakat mereka, dikutip BBC.

Ini mengacu pada saat panggilan darurat pertama dilakukan ke polisi, beberapa jam sebelum tragedi berdarah itu benar-benar terjadi. Total ada 11 panggilan yang dilakukan malam itu.

Setelah mengamati keheningan selama satu menit sambil menghadap ke gang, kepala mereka tertunduk, kelompok itu diam-diam berbaris menyusuri jalan raya utama Itaewon yang sibuk.

Mereka memegang krisan putih - bunga kesedihan dalam budaya Korea - dan plakat hitam bertuliskan: "Kita bisa menyelamatkan para korban, dan pemerintah harus mengakui tanggung jawab mereka."

"Awalnya saya merasa sedih. Tapi sekarang saya marah. Saya di sini karena kejadian ini sebenarnya bisa dicegah. Orang-orang itu seumuran dengan saya," kata mahasiswa berusia 22 tahun, Kang Hee-joo.

Di pemberhentian terakhir mereka, sebuah tugu peringatan perang, para aktivis pemuda bergiliran menyampaikan pidato.

"Masyarakat ini tidak normal, kami tidak aman. Pemerintah tidak memenuhi tanggung jawabnya, itu telah mendorongnya kepada kaum muda ... pelajaran apa yang kami petik dari kejadian Sewol?" kata salah satu pembicara, merujuk pada bencana feri 2014 yang menewaskan lebih dari 300 orang, sebagian besar siswa sekolah menengah.

"Mereka selalu menjanjikan perubahan di setiap pemilu. Tapi kenapa selalu ada bencana sosial? Ini yang dipertanyakan anak muda," kata yang lain.

Kembali ke Balai Kota, lautan lilin berkelap-kelip saat malam tiba, menyinari wajah para pengunjuk rasa yang bertopeng dalam cahaya yang hangat. Banyak dari mereka adalah orang setengah baya atau lebih tua.

Yeom Sung-won, yang memiliki dua anak yang masih kecil, masih bisa mengingat dengan jelas insiden Sewol.

"Itu sangat menyedihkan. Dan sulit dipercaya ini terjadi lagi. Itu sebabnya saya datang ke sini," terang arsitek berusia 59 tahun itu dengan mata berkaca-kaca.

"Aku patah hati, ini sangat tidak masuk akal,” ujarnya.

"Pemerintah telah mengabaikan mereka. Seharusnya melindungi warganya dan mengamankan keselamatan mereka, apa pun yang terjadi,” tambahnya.

(Susi Susanti)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya