BANGKOK – Pemungutan suara pemilihan umum (Pemilu) Thailand dimulai pada Minggu, (14/5/2023), dimana puttri mantan Perdana Menteri (PM) Thaksin Shinawatra menjadi calon terdepan, bersaing dengan petahana Prayuth Chan-ocha. Pemilu ini digambarkan sebagai titik balik bagi negara yang telah mengalami selusin kudeta militer dalam sejarahnya baru-baru ini.
Pemungutan suara pada Minggu dimulai pukul 8:00 waktu setempat di 95.000 tempat pemungutan suara di seluruh Thailand.
Sekira 50 juta orang akan memberikan suara mereka untuk memilih 500 anggota majelis rendah parlemen, dengan sekira dua juta orang telah memberikan suara lebih awal.
Partai Pheu Thai yang dipimpin oleh putri Thaksin, Paetongtarn Shinawatra menjadi unggulan terdepan dalam pemilu ini.
Paetongtarn, (36 tahun), memanfaatkan jaringan luas perlindungan ayahnya sambil tetap berpegang pada pesan populis yang bergema di pedesaan, daerah berpenghasilan rendah di Thailand.
Thaksin, seorang miliarder telekomunikasi, dicintai oleh banyak warga Thailand berpenghasilan rendah, tetapi sangat tidak populer di kalangan elite kerajaan. Dia digulingkan dalam kudeta militer pada 2006, ketika lawan-lawannya menuduhnya melakukan korupsi. Dia membantah tuduhan tersebut dan sejak itu tinggal di pengasingan sejak 2008 di London dan Dubai.
"Saya pikir setelah delapan tahun rakyat menginginkan politik yang lebih baik, solusi yang lebih baik bagi negara daripada sekadar kudeta," kata Paetongtarn kepada BBC dalam sebuah wawancara baru-baru ini.
Partai Move Forward, yang dipimpin oleh Pita Limjaroenrat, mantan eksekutif teknologi berusia 42 tahun, menjadi salah satu saingan Pheu Thai setelah mengalami kenaikan pesat dalam jajak pendapat. Kandidat Move Forward yang muda, progresif, dan ambisius telah mengkampanyekan pesan sederhana namun kuat: Thailand perlu berubah.
Sementara itu petahana Prayuth, (69), tertinggal dalam jajak pendapat. Dia merebut kekuasaan dari pemerintahan saudara perempuan Thaksin, Yingluck Shinawatra, pada 2014, setelah berbulan-bulan kekacauan.
Thailand mengadakan pemilu pada 2019, tetapi hasilnya menunjukkan tidak ada partai yang memenangkan mayoritas.
Beberapa minggu kemudian, sebuah partai pro-militer membentuk pemerintah dan menunjuk Prayuth sebagai kandidat PM dalam proses yang menurut pihak oposisi tidak adil.
Tahun berikutnya keputusan pengadilan yang kontroversial membubarkan Future Forward, iterasi sebelumnya dari Move Forward, yang tampil kuat dalam pemilihan berkat dukungan penuh semangat dari para pemilih muda. Itu memicu protes massal yang berlangsung selama 6 bulan yang menyerukan reformasi militer dan monarki.
Dengan hampir 70 partai yang memperebutkan pemilihan ini, dan beberapa partai besar, tampaknya sulit bagi satu partai untuk mendapatkan mayoritas kursi di majelis rendah.
Tetapi bahkan jika satu partai tidak memenangkan mayoritas, atau memiliki koalisi mayoritas, sistem politik yang diwariskan oleh konstitusi 2017 rancangan militer, dan berbagai otoritas ekstra-elektoral lainnya, dapat mencegahnya untuk berkuasa.
Konstitusi, yang ditulis ketika Thailand berada di bawah kekuasaan militer, menciptakan senat yang ditunjuk dengan 250 kursi, yang dapat memberikan suara untuk memilih PM dan pemerintah berikutnya.
Karena semua senator ditunjuk oleh para pemimpin kudeta, mereka selalu memilih untuk mendukung pemerintah saat ini yang berpihak pada militer, dan tidak pernah mendukung oposisi.
Jadi secara teknis partai mana pun tanpa dukungan senat akan membutuhkan mayoritas super 376 dari 500 kursi, target yang tidak dapat dicapai.
(Rahman Asmardika)