Pangeran Diponegoro diasingkan di Kota Anging Mamiri bersama istri dan anak-anaknya, hingga akhirnya wafat pada 8 Januari 1855 dan dimakamkan di Kota Makassar. "Setelah beliau mengembuskan napas barulah Belanda memberikan kawasan ini sebagai makam sekaligus juga tempat tinggal untuk istri dan anak-anak beliau," lanjutnya.
Pangeran Diponegoro dimakamkan di Kompleks Jawa, tepatnya di Jalan Diponegoro Nomor 55, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo Kota Makassar.
"Belanda memberikan area pemakaman untuk beliau sekaligus juga tempat tinggal istri dan anak-anak beliau. dan akhirnya anak-anak beliau beranak pinak di sini," tuturnya.
Di kompleks pemakaman seluas 500 M persegi tersebut juga turut dimakamkan istri, anak-anak, laskar pengikut pangeran hingga anak cucu Pangeran Diponegoro. Raden Hamzah menyebutkan, kebanyakan para peziarah yang ada ke makam Pangeran Diponegoro dari Pulau Jawa. Hal itu juga terlihat dari buku tamu yang disediakan untuk para tamu berkunjung ke kawasan pemakaman Pangeran Diponegoro.
"Karena pertama kultur budaya beda, kalau di sini biasa-biasa tidak terlalu fenomenal, beda kalau di Jawa. Di Jawa dijadikan slogan wisata religi, kalau di Jawa sangat memuliakan sesepuh, orang tua, kalau bahasa Pak Karno, bahasa nasionalismenya itu Jas Merah (Jangan sekali-sekali melupakan sejarah) tapi kalau bahasa Jawa ‘nguri-nguri leluhur’ artinya ingat-ingat sesepuh orang tua kita," jelas Raden Hamzah.
(Erha Aprili Ramadhoni)