Dan ia baru tahu beberapa hari sebelumnya bahwa Setera dan dua anak perempuan mereka, telah berupaya lari menghindari kekerasan yang melonjak di kamp-kamp pengungsi etnik Rohinga di Bangladesh.
Ayah Setera, Abdu Shukkur, melarangnya pergi dengan kapal, tetapi istrinya kemudian turun tangan. “Ya, saya cemas, tapi saya juga mempertimbangkan bahwa karena orang-orang lain yang pergi adalah orang-orang yang kami kenal, saya izinkan dia pergi dengan mengucap bismillah,” kata Gul Faraz.
Kini, Rashid cemas, upaya keluarganya yang melarikan diri dengan panik itu mengorbankan hal yang justru sedang mereka coba selamatkan – nyawa mereka. Karena, terlepas dari seruan Setera, tak ada bantuan yang datang, baik untuknya maupun untuk ke-180 orang lainnya di dalam kapal itu.
Rohingya adalah orang-orang yang tak dikehendaki siapa pun.
Minoritas Muslim yang tak memiliki kewarganegaraan in telah puluhan tahun menderita penganiayaan di tanah air mereka di Myanmar, di mana mereka telah lama dianggap sebagai penyelundup oleh warga yang mayoritasnya penganut Buddha.
Sekira satu juta orang telah menyeberangi perbatasan menuju Bangladesh. Tetapi di sana mereka justru mendapati diri terperangkap selama bertahun-tahun di kamp kumuh dan tersandera oleh kebijakan migrasi yang praktis tidak memberi mereka jalan keluar.