Sidang Putusan, Hakim MK Bacakan Sejarah Pemilu Sejak Era Soekarno

Irfan Maulana, Jurnalis
Kamis 15 Juni 2023 13:13 WIB
Sidang MK. (Foto: Irfan Maulana)
Share :

JAKARTA - Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan sejarah Pemilihan Umum (Pemilu) di tengah-tengah membacakan putusan gugatan sistem Pemilu 2024. Dia menuturkan sebenarnya tidak ada istilah Pemilu dalam UU 1945 pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia. Baik dalam pengisian Anggota legislatif maupun Presiden dan Wakil Presiden.

Kendati begitu, kata Suhartoyo, ketika mempersilakan kemerdekaan Indonesia, para pendiri negara telah merancang Indonesia menjadi republik yang mendasarkan pada kedaulatan rakyat.

"Yakni berupa keterlibatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga pendidikan perwakilan misalnya saat pembahasan dasar Indonesia merdeka di BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945," ucapnya dalam sidang putusan perkara 114/PUU-XIX/2022 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, (15/6/2022).

Dia mengungkapkan bahwa salah satu pendiri negara yakni M Yamin menuturkan kemerdekaan ditunjukkan untuk kemanusiaan yang didasarkan kedaulatan rakyat.

 BACA JUGA:

"Ihwal pelaksanaan kedaulatan rakyat tersebut menambahkan pengangkatan dan pengambilan keputusan urusan negara dilakukan dengan dasar musyawarah," jelas Suhartoyo.

Dia pun kembali menegaskan bahwa istilah Pemilu muncul beberapa waktu setekah Indonesia merdeka. Keinginan itu ditelusuri berdasarkan Manifesto politik pemerintah yang dikeluarkan pada 1 November 1945. Hal ini sebagai tidak lanjut maklumat wakil order nomor X tanggal 16 Oktober 1945.

"Antara lain menyatakan perihal penyelenggaraan pemilu sebagai bukti cita-cita dan dasar kerakyatan, bahkan berselang 2 hari yakni pada 3 November 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat kepada rakyat agar mendidikan parpol sekaligus menegaskan waktu penyelenggaraan Pemilu pada Januari 1946," kata Suhartoyo.

Lanjut Suhartoyo, pendirian partai politik (parpol) merupakan salah satu elemen penting yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan kontestasi pemilu. Namun pemilu tidak bisa diwujudkan karena pilihan mempertahankan dari segala bentuk ancaman jauh lebih penting.

 BACA JUGA:

"Salah satu perkembangan penting pada masa revolusi kemerdekaan adalah tercapainya kesejahteraan konferensi meja bundar yang berlakunya konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949," ucapnya.

Kata Suhartoyo, secara konstitusional pasal 35 konstitusi RIS menyatakan 'kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa, kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan serta dengan pemungutan suara yang rahasia atau pun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara'.

"Selain itu ihwal pemilihan anggota DPR pasal 57 konstitusi RIS 1949 menyatakan anggota -anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih dalam suatu pilihan umum oleh warga negara Indonesia yang memenuhi dan memenuhi aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Sehubungan dengan konstitusi RIS 1949 sampai 17 Agustus 1950 pemilu tidak pernah terlaksana," jelasnya.

Suhartoyo menjelaskan, sebagai pengganti Konstitusi RIS 1949, pada 17 Agustus 1950 mulai berlaku UUD Sementara (UUDS) 1950. Sebagai sebuah konstitusi dalam bingkai negara kesatuan, UUDS 1950 juga mengatur pemilihan umum.

"Dalam hal ini, Pasal 57 UUDS 1950 menyatakan, 'Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih dalam suatu pemilihan umum oleh warga-negara Indonesia yang memenuhi syarat-syarat dan menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Selain memilih anggota DPR, pemilihan umum juga diselenggarakan untuk memilih anggota Konstituant," tuturnya.

Lanjut Suhartoyo, berdasarkan mandat konstitusional untuk penyelenggaraan pemilihan umum tersebut, Kabinet Natsir (1950-1951) menempatkan pemilihan umum sebagai program pertama agenda pemerintahannya.

Ketika agenda pemilihan umum belum dapat dilaksanakan, Kabinet Natsir digantikan oleh Kabinet Wilopo (1952-1953). Meskipun kabinet berganti, pemilihan umum tetap menjadi agenda utama.

Buktinya, Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang berkenaan pemilihan umum ke parlemen dan pada tanggal 1 April 1953 rancangan tersebut disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (UU 711953) Selanjutnya, UU 711953 mulai diberlakukan pada tanggal 4 April 1953.

"Meskipun mampu melakukan langkah yang lebih konkret menuju penyelenggaraan pemilihan umum, agenda pemilihan umum tidak dapat diselenggarakan pada masa Kabinet Wilopo. Karena iklim politik yang tidak stabil sehingga kabinet jatuh-bangun, pada Juli 1953 Kabinet Wilopo digantikan oleh pemerintahan baru, yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap," jelasnya.

Akhirnya, setelah direncanakan sejak awal kemerdekaan, pemilihan umum pertama kali setelah Indonesia merdeka baru dapat terlaksana pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun 1955. Tak hanya sekali, pemilihan umum dilaksanakan dua kali untuk memilih dua lembaga yang berbeda, yaitu pada tanggal 29 September 1955 untuk nemilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya