JAKARTA - Singapura saat ini tengah berupaya menambah populasinya dari sekitar 5 juta sekarang menjadi 6,9 juta pada 2030. Caranya, dengan membujuk lebih banyak warganya untuk punya anak dan memberikan kewarganegaraan kepada tenaga profesional dari luar negeri.
Menurut informasi resmi yang dilansir dari BBC, Kamis (13/7/2023), Singapura memberikan kewarganegaraan kepada 15.000-25.000 orang setiap tahun. Syarat utamanya, adalah telah menjadi Permanent Resident selama setidaknya dua tahun.
Warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai akademisi di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Profesor Sulfikar Amir mengatakan salah satu cara Singapura merekrut warga dari negara-negara tetangga adalah dengan memberikan beasiswa untuk kuliah di universitas-universitas paling bergengsi di negara tersebut, seperti NTU dan National University of Singapore (NUS).
Beasiswa itu, ujar Prof Sulfikar, berupa hibah biaya pendidikan atau tuition grant untuk studi sarjana selama maksimal empat tahun. Namun, ada syaratnya, yaitu setelah penerima beasiswa harus bekerja di perusahaan Singapura selama tiga sampai empat tahun.
“Nah, biasanya anak-anak yang pindah jadi warga negara Singapura itu adalah mereka yang sudah menikmati berbagai fasilitas yang disediakan oleh pemerintah Singapura baik itu fasilitas pendidikan maupun fasilitas publik yang lain seperti misalnya transportasi publik, kesehatan, dan sebagainya,” kata Prof. Sulfikar.
Belum lagi, tentang kondisi kota yang jauh lebih baik dari kota-kota manapun di Indonesia. "Polusinya itu sangat rendah ya kemudian transportasi publiknya yang merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Jadi nyaman lah,” tuturnya.
Faktor tambahan yang membuat banyak orang berpindah kewarganegaraan, menurut Prof. Sulfikar, adalah paspor Singapura yang merupakan salah satu paspor paling sakti di dunia.
Paspor Singapura menempati peringkat ke lima dalam daftar Passport Index dan dapat masuk ke 127 negara tanpa visa. “Sementara kita pakai paspor Indonesia ke mana-mana itu, aduh, diperlakukan sangat tidak enak ketika kita minta visa,” kata Prof. Sulfikar.
Berdasarkan pengamatannya terhadap beberapa kawan yang sudah berpindah warga negara, Prof. Sulfikar mengatakan para WNI yang jadi WN Singapura sesungguhnya tidak pernah benci atau kecewa dengan Indonesia.
Dirinya mengamati, apapun yang terjadi dengan Indonesia, mereka tetap merasa itu adalah bagian dari identitas mereka sebagai orang Indonesia yang tinggal di Singapura.
“Tapi mereka melihat bahwa mungkin pekerjaan mereka itu tidak terlalu dihargai kalau mereka tetap ada di Indonesia; khususnya teman-teman yang ada di dunia akademik ya, atau di dunia pendidikan. Lalu kemudian ada alasan-alasan yang bersifat personal yang tentu saja sangat kompleks,” ujarnya.
(Angkasa Yudhistira)