JAKARTA - Prevalensi merokok di Indonesia semakin meninggi. Hal ini perlu mendapat perhatian dari seluruh pemangku kepentingan.
Akademisi dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran (Unpad), Amaliya, mengatakan, pemerintah perlu mengupayakan program pencegahan merokok berbasis profil risiko untuk mengurangi angka perokok.
Berdasarkan Global Adult Tobacco Survey 2021, sebanyak 63,4 persen perokok berencana untuk berhenti merokok. Angka tersebut dapat menjadi peluang bagi pemerintah dalam upaya menurunkan prevalensi perokok di Indonesia.
“Saat ini angka perokok di Indonesia mencapai 65 juta jiwa. Perlu ada langkah pengurangan bahaya yang dapat menurunkan prevalensi perokok,” ujar Amaliya beberapa waktu lalu.
Akademisi yang pernah didapuk menjadi panelis dalam diskusi Global Forum on Nicotine 2023 (GFN23) di Warsawa, Polandia, belum lama ini mengatakan, beralih dari kebiasaan merokok memang tidak mudah, tetapi upaya pengurangan bahaya tembakau dapat menjadi program pelengkap pemerintah dalam menekan angka perokok.
Dikatakannya, pemanfaatan produk tembakau alternatif seperti produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, dan kantong nikotin, dapat membantu pemerintah dalam mengurangi prevalensi perokok. Alasannya, berdasarkan kajian ilmiah, produk-produk tesebut memiliki risiko hingga 90-95 persen lebih rendah daripada rokok.
Tingginya angka perokok mendorong dirinya beserta rekan-rekannya di Unpad melakukan kajian klinis bertajuk “Nikotin dan Respon Gusi pada Pengguna Vape vs Perokok saat Mengalami Peradangan Gusi Buatan (Gingivitas Eksperimental)”.
Penelitian tersebut untuk mengetahui sejauh mana produk tembakau alternatif, khususnya rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan, memiliki dampak bagi pertahanan gusi terhadap bakteri plak gigi pada para pengguna dibandingkan dengan perokok dan bukan perokok.
Hasil penelitian tersebut mengungkapkan pengguna produk tembakau alternatif yang telah berhenti merokok menunjukkan respons yang baik terhadap akumulasi plak atau infeksi bakteri dengan tingkat peradangan gusi seperti yang dialami non-perokok.
“Kami menyimpulkan bukan nikotin yang mempersempit pembuluh darah, melainkan TAR,” pungkasnya.
Saat ini, negara lain seperti Swedia juga telah memanfaatkan upaya pengurangan bahaya tembakau dan mendukung penggunaan produk tembakau alternatif untuk mengurangi angka prevalensi perokok. Hal ini dapat dikaji lebih lanjut oleh Pemerintah Indonesia.
(Fahmi Firdaus )