Hingga akhirnya peristiwa di malam jahanam itu terjadi. Sekelompok pasukan Tjakrabirawa yang sudah terinfiltrasi gerakan politik PKI menyasarkan kebengisan mereka terhadap sejumlah perwira tinggi TNI AD.
Sebelum kejadian di pagi buta pada 1 Oktober 1965, sedianya pejabat Deputi III Menpangad bidang Perencanaan dan Pembinaan itu, sudah mendapati firasat akan jadi target kekerasan golongan ekstrem kiri. Salah satu wakil Menpangad Letjen TNI Ahmad Yani itu ikut gugur sebagai bunga bangsa.
“Bapak harus berjaga-jaga. Kabar mengenai rencana penculikan dan pembunuhan itu barangkali benar,” ujar ajudan MT Haryono, dikutip dalam buku ‘Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965’.
“Buat apa? Saya dan keluarga tak perlu dijaga!” jawab MT Harjono tegas.
Sebagai seorang perwira tinggi TNI AD, rumah MT Haryono saat itu tanpa penjagaan sama sekali. Bahkan, dia tak pernah mau memanfaatkan fasilitas negara untuk melakukan pengamanan dengan tentara di rumahnya.
Namun, peristiwa kelam 1 Oktober itu tiba, sekira pukul 04.00 pagi, rumah MT Harjono di Jalan Prambanan Nomor 8, Menteng, Jakarta Pusat itu didatangi segerombolan pasukan Tjakrabirawa.
“Assalaamualaikum!,” ujar Serma Bungkus, pimpinan gerombolan tersebut sembari mengetuk pintu.
Mariatni, istri sang jenderal yang membuka pintu seraya bertanya maksud kedatangan para pria tegap berseragam dengan bersepatu lars itu. “Bung Karno memanggil bapak. Ada rapat penting yang harus dihadiri bapak sekarang juga,” jawab Serma Bungkus.